Emak-Emak Sekolahan

R Fauzia
Chapter #3

Kedip-Kedip Mata Bu Desi

Baru hitungan detik, Wiwid memanaskan motor, asap putih langsung saja memenuhi pekarangan rumah yang berukuran 2 x 3 meter. Ibu tiga anak yang terlihat lebih muda dari usianya itu mengibas-ibaskan tangan tepat di depan hidung.

Dari arah pintu rumah, terdengar suara batuk. Tanpa menoleh, Wiwid tahu itu suara Iqbal, putra keduanya. Langsung saja remaja kelas XII SMA itu mendapat protes dari ibunya.

“Minum es, teruuus!”

“Gara-gara asep knalpot, Mak!” Iqbal membela diri. Suaranya sedikit sengau karena flu yang tidak juga sembuh walau sudah berhari-hari.

“Itu tas, enggak ada isinya? Kempes, begitu!”

“Kan, buku cetaknya belom dibagiin.”

“Ooh.”

“Iqbal aja, Mak yang bawa. Mana kuncinya?” tanya Iqbal sambil kedua tangannya memegang setang motor.

“Eeeh, enggak ada! Emak aja yang bawa! Abis minum obat, enggak boleh bawa motor!”

“Malu, Mak! Diledekin lagi, ntar! Dibilang anak emak gara-gara diboncengin.”

“Ya, emang elu anak Emak! Emangnya, anak siapa lagi?”

“Tapi besok, motor Iqbal yang bawa, ya Mak?”

“Ya, enggak bisa, Bal! Nanti, emak sama abanglu keliling-keliling gimana?”

“Ya, udah! Ntar, Iqbal turun di luar tapi!”

“Siaap, Juragan!”

Wiwid masih menyempatkan diri kembali ke dalam rumah untuk mengambil tas dan berpamitan pada suaminya. Walau taksampai hati melihat sosok tercinta berbaring lesu di atas tempat tidur karena sakit kambuhannya yang muncul lagi, Wiwid tetap harus pergi, mengantar Iqbal ke sekolah. Ia juga ada keperluan lain di sana.

Sangat mahir, Wiwid berkendara menaklukkan kemacetan jalan raya di jam padat kendaraan. Berkat kelihaiannya melakukan maneuver, mencari celah di antara mobil-mobil yang memadati jalan, ibu-anak itu sudah memasuki jalan utama menuju SMA Negeri 735 dalam waktu 20 menit.

Seperti yang sudah diniatkan, Iqbal meloncat turun saat motor yang membawa mereka sudah mendekati pagar sekolah. Gerakan tiba-tibanya membuat sang bunda kaget. Motor pun menjadi sedikit oleng. Belum sempat perempuan berpembawaan lugas itu protes, putra kesayangan sudah berlari menjauh di trotoar. Lambaian tangan dan seringai menggemaskan di wajah remaja 18 tahun itu membuat Wiwid menggeleng. Hatinya dipenuhi rasa cinta.  

Setelah memarkir motor di tempat khusus parkir di area dalam sekolah, Wiwid melenggang santai menuju pintu lobi SMA Negeri 735. Melewati barisan pohon yang dilindungi pagar bata di sekelilingnya, ia melihat seorang rekan sesama ibu murid sedang duduk termenung.

“Betah banget duduk sini, Mama Audy,” celetuk Wiwid. Sudah sejak hari pertama sekolah dimulai, ia selalu melihat rekannya yang bernama Renata, duduk sendirian di tempat yang sama. Hanya senyuman tipis yang menjadi balasan.

“Nunggu siapa, Mbak?” tanya Wiwid lagi.

“Enggak nunggu siapa-siapa.”

“Anak kita sekelas, ya Mbak?”

Ibunda Audy mengangguk sambil kembali tersenyum tipis. Menyambar peluang, Wiwid langsung meluncurkan rayuan.

Lihat selengkapnya