Wiwid sengaja mengambil jalan dari pintu samping gedung sekolah yang jaraknya lebih jauh dari pintu gerbang utama, semata karena ia ingin menghindar dari bertemu ibu murid lainnya. Bukan karena ia seorang anti sosial, bukan juga karena ia malas usulan Hanum di WAG untuk sarapan bersama di kantin sekolah, bukan! Semata karena ia harus mengirit. Uang yang tersisa pun mungkin tidak akan cukup untuk akhir bulan. Untungnya, tadi malam Cing Arif menelepon, dan meminta Wiwid datang untuk mengambil 10 kg beras hasil panen dari sawah milik kakak mendiang ibunya itu. Ada terong dan ikan mas tangkapan dari balong.
Tadinya, Wiwid berencana untuk mengambil oleh-oleh dari Cing Arif sore hari bersama Imam. Namun, putra sulungnya itu diajak pergi oleh temannya dan baru akan tiba di rumah selepas Maghrib. Persediaan beras di dapur pun, hanya cukup untuk makan siang hari itu. Stok telur hanya tersisa tiga butir. Maka, berkunjung ke rumah CIng Arif menjadi prioritas kedua setelah mengurus dokumen di sekolah. Perempuan yang hobi memasak dan suka makan itu sudah membayangkan kelezatan ikan bakar dan terong balado, makanan kesukaan keluarganya.
“Mama Iqbal!” Panggilan nyaring Amanda membuat Wiwid menoleh. Ibu murid yang modis itu menggerak-gerakkan tangan sebagai permintaan untuk rekannya mendekat.
“Abis ketemu siapa?”
“Bu Desi.”
“Loh, bukannya minggu kemarin kita barengan ke Bu Desi?”
“Ada yang kurang dokumennya.”
“Ooh. Ya, sudah! Langsung aja, kita ke kantin.”
“Enggak ikutlah! Tanggal segini sarapan di luar.”
“Loh! Kan Hanum ngajak kita sarapan di kantin. Enggak baca WAG, ya? Kita mau soal pengurus Angkatan, Mbak Wid. Penting loh, itu!”
“Urusan begituan, nanti aja di rapat!”
“Ya udah, enggak apa-apa! Yang penting, suaranya nanti buat Mbak Hanum, ya?”
“Yaaah, dia malah kampanye!”
“Boleh, dong!” jawab Amanda sambil kemudian tertawa kecil. Kemudian, ia membelokkan topik dengan bertanya, “Eh, gimana siap sama hasil tes? Tanggal 26 loh, bentar lagi. Deg-degan aku, Mbak Wid!”
“Imam enggak ikut.”
“Loh, bukannya minggu lalu … Aku kira anaknya Mbak Wid daftar tes.”
“Daftar! Tapi, enggak yang itu.”
“Memang masih ada? Bukannya untuk Mandiri, itu yang terakhir?”
“Masih ada, kok. Minggu depan.”
“Oooh … Bukan yang Top Three pasti, ya?”
Mengabaikan kejengkelan hati, Wiwid langsung berpamitan dengan berkata, “Udah, ah! Gue buru-buru!”
“Eh, aku becanda loh, Mbak Wid!” ucap Amanda sambil mengulurkan untuk menyentuh lengan temannya, namun Wiwid telah lebih dulu mengambil langkah menjauh.
Langkah ibunda Iqbal itu terlihat mantap dan cepat. Namun sesungguhnya, hatinya tertohok oleh celetukan takberperasaan yang baru saja ia dengar tadi. Sebetulnya, Wiwid bukan orang yang mudah tersinggung, apalagi baper. Ia sendiri dikenal lugas saat bicara. Tetapi, topik tentang ujian masuk PTN ternyata cukup menguras emosi ibu tiga anak itu. Terlebih sejak kejadian beberapa waktu yang lalu, tepatnya satu hari sebelum tanggal pelaksanaan tes daring sebuah Universitas Negeri.
Waktu itu, setelah Ashar, Wiwid melihat Imam yang sedang asik mengutak-atik kipas angin di jam yang seharusnya ia belajar. Padahal sejak pagi, anak itu seharian pergi, dan baru kembali sekitar jam dua siang untuk makan.
“Mam! Seharian belum belajar?”
“Ini rusak, Mak! Malem, Imam sama Iqbal susah tidur, banyak nyamuk.”
“Biarin aja, ntar Bapak yang benerin!”
“Nanggung, Mak! Gampang kok, ini.”
“Iya, itu gampang! Tapi, ujian besok belom tentu gampang!”