Mungkin hampir seratus orangtua murid memenuhi ruang Cita Sentosa. Ruang rapat utama di gedung SMA Negeri 735 itu merupakan sumbangan dari seorang alumnus yang telah menjadi pengusaha kelas kakap. Nama sang donatur pun, yaitu Rahmat Sentosa diabadikan untuk ruang rapat yang berkapasitas 150 orang tersebut.
Di Selasa pagi yang cerah itu, setengah dari total bangku di ruang Cita Sentosa telah terisi oleh para undangan yang semuanya adalah orangtua atau pun wali murid kelas XII. Lantai yang sengaja dibuat bertingkat membuat pemandangan dari bawah maupun atas terasa lepas, tanpa penghalang. Ada jalan kecil yang membelah barisan bangku tersebut menjadi dua. Jika saja warna karpet dan dindingnya merah, akan semakin kuat vibe bioskop dalam ruang itu. Bahkan, para murid sering menyebut tempat itu dengan nama sebuah cinema terkenal di nusantara.
Menit-menit berlalu, kursi-kursi telah terisi oleh mungkin lebih dari 50 orang, sebagian peserta masih berada di luar, mengobrol bergerombol sambil menikmati makanan ringan, dan minuman kemasan yang disiapkan oleh panitia. Wiwid mengambil satu buah dari tiga jenis makanan yang disajikan, lalu membawanya ke dalam ruang rapat dengan alas piring kertas yang juga sudah disiapkan.
Beberapa aktivis organisasi orangtua murid atau yang dikenal dengan sebutan Komite Sekolah sudah terlihat mengisi barisan bangku terdepan, di sisi sebelah kanan. Mereka terlihat asik berbincang, diselingi berfoto bersama beberapa kali. Melalui grup Whatsapp, mereka memang sudah saling berjanjian untuk duduk di barisan pertama agar mudah untuk melakukan diskusi dadakan jika diperlukan.
“Mbak Wid! Mbak Wiwiiid!” Seseorang dari barisan itu memanggil dan melambaikan tangan. Wiwid hanya melambai lalu mengacungkan ibu jari kemudian ia malah memilih duduk di baris ke dua sebelah kiri. Ia hanya sedang tidak ingin berbasa-basi.
Duduk bersandar pada punggung bangku, pikiran ibu tiga anak yang terlihat sporty dengan kemeja lengan panjang dan celana panjang berbahan pantalon itu terpecah. Sebagian ada di rumah, seperempatnya lagi sibuk menghitung pengeluaran, dan seperempat yang kedua entah terbang ke mana. Yang pasti, benaknya tidak ada di ruang Cita Sentosa.
“Permisi, Mbak. Boleh ikut lewat?” Seorang wali murid yang parasnya terlihat sangat muda meminta izin dengan sangat sopan. Matanya dan senyumannya ramah membuat Wiwid yang sedang banyak masalah, ikut tersenyum. Ia bergerak untuk bangun, namun dicegah oleh sang pendatang.
“Enggak usah, Mbak! Biar saya aja yang masuk,” ucapnya. Setelah diberi jalan, ia melangkah melewati Wiwid dan duduk di bangku ke tiga dari pinggir. Ia membiarkan satu kursi kosong di antara mereka berdua.
Dari podium, Bu Desi meminta maaf melalui pengeras suara akan keterlambatan yang membuat para hadirin harus menunggu. Namun, ia juga meminta semua untuk bersedia menunggu sekitar sepuluh menit lagi.
“Mbak Wid?” Sapaan santun diiringi sentuhan lembut di bahu Wiwid membuat lamunannya kembali buyar. Namun, melihat wajah sang penyapa yang sudah ia kenal, Wiwid pun langsung bergeser bangku kosong di sebelahnya.
“Terima kasih, Mbak Wid,” ucap Ambar. Setelah duduk sempurna, ibunda Tiara itu bertanya, “Enggak duduk di sana, Mbak Ambar?”
Wiwid menoleh pada titik yang ditunjuk oleh temannya, barisan di mana para aktivis Komite Sekolah duduk. Lalu, ia pun menjawab, “Enak di sini, deket pintu.”
“Saya pikir, saya sudah telat, loh Mbak Wid.”
“Ngaret, Mbak! Biasaaa, itu mah!”
“Iya, tadi saya ada keperluan dulu, jadi terlambat.”
“Eh, bukan Mbak Ambar, maksudnya! Ini, rapat sekolahan yang suka ngaret!”
“Ooh, saya kira saya.” Senyuman Ambar sesantun ucapannya.
“Iqbal, IPS berapa Mbak?” tanyanya, kemudian.
“IPS E. Barengan sama Fey. Sama …” Belum selesai Wiwid bicara, perempuan berhijab yang duduk di sebelah kanannya memotong. Ia bertanya, “Maaf, Mbak ini Mamanya Iqbal, ya?”