Baru lima langkah, Ibu Kepala Sekolah meninggalkan ruangan Cita Sentosa, suasana langsung berubah 180 derajat. Yang semulanya tenang dan kondusif menjadi meriah oleh diskusi, celetukan, dan tawa kecil di sana-sini.
Para peserta rapat pagi itu yang seluruhnya adalah orangtua dan wali murid terlihat seperti murid sekolah yang ditinggal gurunya keluar kelas. Namun, hampir semua bertahan di dalam ruangan karena Kepala Sekolah menghimbau agar semua mengikuti rangkaian acara hingga dinyatakan selesai.
Di dua barisan bangku terdepan, para aktivis Komite mulai membahas kandidat untuk Ketua Angkatan. Sementara, sebagian besar orangtua murid lainnya membahas paparan yang baru saja mereka dengar, yaitu tentang tahapan persiapan menuju Perguruan Tinggi Negeri. Ada juga beberapa orang yang memilih topik-topik yang sedang viral di media sosial atau pun sibuk dengan ponsel masing-masing.
Ruangan kembali hening, ketika Ibu Desi bersama Pak Karya, Humas SMAN 735 kembali ke ruanganan. Pria muda yang masih bujangan itu langsung duduk di bangku yang semula diduduki oleh Ibu Kepala Sekolah. Ia langsung mempersilakan Ketua Komite beserta Wakil, Sekretaris, dan Bendahara untuk naik ke podium, baru kemudian memberi kalimat pembuka untuk agenda terakhir dari rapat hari itu.
“Baik, Bapak-Ibu yang terhormat. Seperti yang dimandatkan oleh Ibu Kepala Sekolah, saya beserta Bu Desi berada di sini hanya sebagai pengawas karena setiap program yang menyangkut sekolah wajib dihadiri oleh perwakilan guru atau pejabat sekolah,” ucap pria muda yang termasuk salah satu dari tiga guru yang kerap dijadikan model untuk katalog atau pun spanduk-spanduk sekolah.
“Untuk tidak menyita waktu Bapak-Ibu lebih lama lagi, kami persilakan Ibu Andini, Ketua Komite kita, untuk memimpin proses pemilihan Korlas dan Tim Inti Pengurus Angkatan. Silakan, Ibu,” ucapnya lagi.
Seperti halnya Kepala Sekolah SMAN 735, Ketua Komite terpilih yang memasuki tahun terakhir jabatannya pun tidak banyak berbasa-basi, ia langsung meminta semua hadirin untuk mengisi barisan bangku berdasarkan kelas masing-masing.
“Ayo! Ayo, mohon cepat Bapak-Ibu supaya kita cepat selesai!” pintanya, “Yang sudah duduk sesuai kelas, tolong langsung menunjuk minimal 5 orang Kordinator Kelas masing-masing.”
“Harus lima, Mbak Andin? Enggak kebanyakan, Mbak?” tanya seseorang dari baris belakang.
“Ya, harus lima! Karena, ini kelas XII. Agenda kita banyak dan padat sekali.”
“Apa aja, Mbak? Lupa!” Seseorang lain menceletuk dan langsung mendapat komentar dari yang lain, “Kelas XII masih nanya?!”
“Ketua, Wakil, Sekretaris, Bendahara 1, Bendahara 2, dan Humas kalau bisa!” Sang Ketua Komite tetap menjawab. Ia juga meminta agar nama-nama yang sudah tersusun dituliskan di secarik kerta dan langsung disetorkan kepada Sekretaris Komite.
Satu per satu perwakilan kelas menghampiri podium menyerahkan susunan Korlas. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, sepuluh kelas telah menyetor nama. Andini pun berpindah ke pemilihan Pengurus Inti untuk Angkatan 1223. Berbeda dengan penunjukan Korlas, Andini meminta hadirin mengusulkan diri atau mengusulkan nama yang dianggap punya kompetensi untuk menjadi Pengurus Inti.
“Mama kembar, dong! Enggak ada yang lain!” Hesti langsung menyambar kesempatan dengan penuh semangat. Diikuti tepukan dan teriakan setuju dari beberapa orang yang duduk di sekitar Hanum, termasuk Amanda. Bahkan, nama yang terakhir itu memberi usul dengan penuh percaya diri, “Enggak usah pakai Pemilu lagi, langsung aja ketuk palu; Mbak Hanum Ketua Angkatan!”
“Bu Ketukom! Saya punya usulan tiga nama!” Wiwid bereaksi sangat spontan. Ia langsung berdiri sambil mengangkat tangan.
“Banyaaak amaat! Satu, woy! Satu!” protes Hesti.
“Mau usul tiga, dua, bebas, dong! Kan ketuanya nanti tetep satu?”