Baru Jumat lalu, Sosialisasi Program Tahun Ajaran 2023 – 2024 diadakan namun tim inti Pengurus Angkatan langsung bergerak cepat, menggelar rapat Anggaran. Padahal, baru dua hari lalu, mereka juga mengadakan pertemuan dadakan untuk membahas nama-nama yang akan dimasukkan sebagai anggota termasuk sebagai Kordinator Kelas yang bersedia. Yang menolak pun berjanji, akan tetap membantu jika dibutuhkan di event-event tertentu.
Rapat perdana dihadiri sekitar empat puluh orang peserta, Ambar yang semula cemas akan angka kehadiran, langsung merasa lega. Sebagai Ketua terpilih, ia menyampaikan program melalui slide presentasi. Program tersebut masih mengikuti program Angkatan sebelumnya yaitu perpaduan dari Kalendar Akademik resmi SMAN 735 dan acara-acara tahunan lain yang digagas oleh Komite-Komite terdahulu.
Baru saja layar menampilkan slide pertama, gumaman di sana-sini langsung mengisi udara ruang rapat. Seseorang anggota yang Ambar belum hapal namanya, langsung memberi komentar dengan nada menyindir, “Programnya contekan banget, Bu Ketua! Kirain, Angkatan kita bisa lebih mandiri! Enggak gampang disetir!”
“Ini baru usulan, nanti kita bahas satu per satu, Mbak,” jawab Ambar santun. Setelahnya, ia mulai membacakan satu per satu susunan program mulai tanggal tanggal pelaksanaan terdekat. Baru sampai agenda pertengahan Semester 1, Hesti berkata lantang, “Bu Ketua, enggak usah dibacain satu-satu semua gitu! Kita juga bisa baca dari sini! Langsung aja, bahas satu-satu!”
Reflek Ambar menoleh pada Wiwid yang langsung mengangguk.
“Bagaimana, Mbak Hanum?” tanya Ambar. Jawaban sang Wakil Ketua hanya berupa gerakan menaikan bahu hingga membuat Wiwid sebal dan langsung menukas, “Udah, langsung aja Bu Ketu!”
Seperti yang Wiwid sudah duga, pada setiap poin yang disampaikan Ambar selalu saja ada kritik dan tentangan dari para anggota walaupun sudah dua kali dijelaskan bahwa apa tertulis pada slide presentasi masih berupa usulan untuk dibahas mana yang akan dipertahankan, mana yang akan dihilangkan. Sang Ketua Angkatan yang berpembawaan anggun itu tidak banyak membalas bantahan. Ia hanya bereaksi dengan kata iya, betul, dan terima kasih. Sesekali, Ambar juga meminta izin untuk lebih dulu menampung saran-saran yang masuk.
“Bu Ketua, masukan itu dibahas, bukan ditampung!” Kembali Hesti berkomentar keras dan langsung mendapat dukungan dari Amanda yang berkata, “Betul, Bu Ketua! Rapat ini, ‘kan tujuannya untuk membahas semuanya! Jadi, jangan dinanti-nanti. Bahas saja sekarang, secara transparan!”
“Ini, Sekolah Negeri, Bu! Kita kejar-kejaran sama dana! Lambat-lambat, orangtua keburu tutup dompet!” timpal Hesti kemudian dengan gerakan demonstratif, ia menguap.
“Ngantuk kalau rapatnya begini terus!” ucapnya. Hanum yang sejak tadi mesem-mesem, akhirnya memutuskan untuk bicara. Ia mengambil pengeras suara yang tergeletak di atas meja. Begitu tangan kirinya yang bebas diangkat, semua mata langsung mengarah padanya.
“Tenang! Tenang! Kita dengerkan dulu sampai selesai! Programnya sudah bagus, kok! Sudah dijalani tiap tahun, tinggal kita bahas anggarannya,” ucap Hanum.
“Nah, itu maksud gue, Beib! Langsung aja, bahas anggaran!”
Akhirnya, Tabel Anggaran pun ditampilkan di layar dan segera saja angka-angka yang tercantum serta total biaya membuat heboh. Satu per satu usulan acara yang sebetulnya merupakan program rutin pun dipertanyakan karena anggarannya jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Saling adu argumentasi antara yang setuju dan tidak membuat suasana menjadi panas.
Ambar terlihat kesulitan menjawab setiap pertanyaan dan kritikan. Terlebih, suaranya yang lembut selalu saja tenggelam oleh suara-suara lantang yang memotong kalimatnya. Seperti yang baru saja dilakukan oleh salah satu anggota dari jurusan IPS.
“Pertanyaan saya, Bu Ketua! Berapa persen dari total anggaran itu yang disubsidi sama Sekolah? Enggak usah deh, kita berharap 70 persen. Setengahnya saja, belum tentu, ‘kan?”
“Ini harus kit …” Belum rampung kalimat Ambar, dari baris terdepan seseorang yang duduk di bangku terdepan menukas ketus, “Enggak mungkinlah! Yang udah-udah, orangtua juga yang harus keluar uang!”
Ambar terlihat menarik dan menahan napas, sepertinya ia sedang mencari jawaban yang tepat. Menyadari bahwa itu adalah momen yang pas untuk memberi saran yang bisa mewakili orangtua murid seperti dirinya, Wiwid pun menyambar peluang.
“Bu Ketu! Sebenernya, kita enggak harus prek, ngikutin program pengurus tahun lalu! Banyak kok, yang bisa dihapus, yang enggak penting-penting gitu! Diom …”
“Enggak penting gimana, Mbak Wid?” Hanum bertanya dingin, “Enggak ada yang enggak penting di program itu! Acaranya bagus semua! Makanya setiap tahun dilaksanakan! Tersinggung, loh! Kalau, senior-senior kita dengar program tahunan yang sudah turun-temurun di jalanin dibilang enggak penting!”