Sudah tinggal sepertiga dari total peserta rapat yang masih bertahan di dalam ruangan. Setengah dari mereka masih terlihat asik mengobrol, sementara sisanya berdiri di dekat meja tim inti yang juga masih membahas materi tadi.
Beberapa detik setelah Amanda menimpali ucapan Hesti dengan komentar yang membuat telinga Ambar panas, Hanum beranjak dari bangku sambil berkata pada kedua temannya itu, “Maksi, yuk! Kafe Adem ada menu baru, loh!”
“Hayuk, hayuuuk! Gue laper nih, Beib!” sambut Hesti yang langsung kembali ditimpali oleh Amanda.
“Mestinya, Ketua baru dong yang traktir! Kaya Mbak Hanum dulu, anak buah semangat sering ditraktir!” timpal Amanda yang langsung diamini oleh beberapa orang lainnya. Namun, Wiwid memberi usulan yang berbeda
“Jangan sekarang, Bu Ketu! Cuma bisa sampe jam satuan, nih!” pintanya. Hesti langsung menyambar, “Yang bisa aja, kaliii!”
Ambar terlihat ragu, untungnya sama seperti Wiwid, Erina tidak bisa ikut jika makan siang di luar sekolah karena sudah membuat janji dengan Bu Desi dan Pak Karya untuk membahas vendor Bimbel pukul setengah dua nanti.
“Minggu depan, saja! Minggu depan!” Pak Raja mempermudah Ambar yang akhirnya memutuskan untuk makan bersama di hari lain. Hanum yang jengkel karena dibuat menunggu, berkata ketus, “Udah, gue yang traktir! Repot amat, sih!”
“Maaf, ya Mbak Hanum.”
“Yang saya bilang repot itu …, mereka berdua ini loh, Mbak Ambar!” ucap Hanum sambil menunjuk satu per satu pada Hesti dan Amanda. Akhirnya ketiga teman dekat itu berangkat bersama Oli Klara dan beberapa orang lainnya, sementara yang lain memilih langsung pulang. Ketika hanya tinggal berempat, Pak Raja mengusulkan untuk mengisi perut di kantin sekolah, dan langsung disetujui oleh Wiwid dan Erina.
Turun dari lantai dua, mereka mengambil jalan yang lebih jauh yaitu lewat pintu keluar menuju gerbang utama karena tidak ingin melewati kelas-kelas di saat para murid masih belajar. Masih sekitar satu jam menuju pukul 12.00. Di pinggir taman, di tempat yang sama, kembali Wiwid melihat Renata duduk sendirian di titik favoritnya yaitu titik jatuhnya bayangan pohon Bougenvile. Ia menatap ke seberang jalan di luar pagar sekolah.
“Mbak itu orangtua murid ‘kan, ya?” tanya Erina entah pada siapa. Wiwid menoleh dan melihat rekannya itu menatap ke titik yang sama. Ia pun menjawab, “Mamanya Audy, IPA.”
“Sekelas sama Tiara?” Lagi-lagi Erina bertanya tanpa menyebut nama orang yang ditanya. Namun, Wiwid tetap menjawab “Audy IPA E. Tiara, C.”
“Hebat, Mbak Wid hapal nama sama kelas semua murid!”
“Enggak semualah! Emangnya gue Bu Desi?!”
“Diajak saja ke kantin, Mbak Wid!” pinta Ambar, namun sedetik kemudian ia menambahkan, “Kalau yang lain setuju.”
“Iya! Ajak, saja!” timpal Pak Raja hampir bersamaan dengan teriakan Wiwid yang memanggil mama Audy. Perempuan yang terlihat sporty dengan kaos berkerah yang dimasukkan ke dalam celana jeans biru mudanya, menoleh. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia tidak terlihat kaget, tapi juga tidak terlihat menyambut atau pun terganggu.
“Mbak Rena! Kantin, yuuk!” ajak Wiwid. Diikuti yang Erina dengan salam “hai” khas perempuan Pasundan yang ramah.
“Enggak, Mbak Wid. Terima kasih!” Renata menjawab setelah mengangguk dan tersenyum pada Ambar dan Pak Raja yang juga mencoba membujuk walau takberhasil.
“Lain kali gabung, ya Mbak Renata?” pinta Ambar dijawab dengan anggukan dan senyuman tipis.
Setelah mereka cukup jauh berjarak, Erina yang paling muda di antara ibu-ibu pengurus, bahkan di antara semua orangtua, dan wali murid bertanya lugu, “Kayanya mah, senang menyendiri ya, Mamanya Audy? Tapi, kenapa sukanya duduk di situ? Tiap hari, aku liat di situ sendirian.”
“Lah emang orangnya begitu!” tukas Wiwid tanpa memberi penjelasan.
“Iya, tapi kenapa?”
“Enggak kenapa-napa! Emang orangnya seneng sendirian!”
“Bukan, Mbak Wid! Kenapa duduknya di situ terus?” tanya Erina masih dengan wajah polosnya. Ambar dan Pak Raja tertawa, sedangkan Wiwid yang sepertinya baru menyadari keanehan itu, menggaruk-garuk kepala.
“Iya, juga ya! Ngapain di situ terus. Anak-anak juga udah pada masuk kelas?”
“Nah, eta maksudku!”
Kembali Ambar dan Pak Raja tertawa, namun bapak murid yang dikenal paling sigap menolong itu memberi usul agar di lain waktu mereka mencoba lagi mengajak mama Audy bergabung. Wiwid yang lumayan rajin menyapa Renata, langsung mengacungkan ibu jari kanan, lalu berkata, “Setuju, Pak Raja! Daripada jadi omongan. Kasian!”
Tiba di kantin, ibunda Iqbal itu langsung memberi saran untuk duduk di meja depan stan “Kantin Tin” yang menjual nasi goreng dan mie, bihun, soun, serta kwetiau dalam beberapa pilihan cara masak. Pak Raja meminta tiga rekannya untuk lebih dulu duduk, sementara ia sendiri mengambil menu.
“Yang enak apa, Mbak Wid?” tanya Ambar yang baru pertama kali makan di situ.
“Mie nyemeknya maknyus! Nasi goreng ijo terinya mantaap! Kesukaan gue tuh, Mbak!”
Akhirnya kecuali Pak Raja yang memesan nasi goreng Cakalang, ketiga pengurus Angkatan lainnya memilih mie sapi rica. Kembali, satu-satunya pria dalam grup itu berdiri, membawa pesanan yang sudah ditulis. Erina yang bingung refleks mencegah.