Setelah hampir dua jam berdiskusi online bersama Ambar dan Erina kemarin malam dan memasak dua belas toples teri kacang serta selusin toples teri kacang keesokan paginya, Wiwid memutuskan untuk menemani suaminya di sepanjang sisa hari. Bahkan, untuk urusan mengantar produk jualannya itu ke Pasar Minggu, ia meminta Imam yang pergi.
Di setiap pertengahan minggu, Wiwid selalu membuat dua jenis lauk tersebut untuk dititipkan di toko milik Cing Arif. Terkadang, jika ada modal lebih, perempuan yang gemar memasak itu juga membuat makanan lain seperti ayam cabai hijau, kering tempe kacang, atau nasi bakar. Wiwid beruntung karena Cing Arif tidak pernah keberatan dititipi produk jualan yang berbentuk makanan, bahkan ia takpernah mengenakan uang sewa, atau pun memotong hasil penjualan produk milik Wiwid dengan alasan bahwa keponakan itu adalah anak. Pantang baginya mengambil untung dari anak sendiri, begitu kata Cing Arif setiap kali sang ponakan memaksa untuk membayar uang sewa.
Ada yang unik dari Cing Arif, nama kakak dari ibunda Wiwid itu sebetulnya adalah Arifah. Namun, karena ia menikahi seorang suami yang juga bernama Arif, orang-orang banyak yang menyapanya dengan panggilan Ibu Arif atau Cing Arif. Sepanjang ingatan Wiwid, sejak kecil ia telah memanggil bibinya itu dengan panggilan Cing Arif, sedangkan sang paman ia sapa Cang Arif.
“Nguaaantuk aku, Wid!” Budiman yang tengah duduk berselonjor di tempat tidur berkata pada istrinya yang tengah asik merapikan kamar.
“Tiduran aja, Bang! Udah mabelas menitan, ini! Ga apa-apa rebahan!” ucap Wiwid, dibantunya suami tercinta yang tengah sakit untuk berbaring, lalu ia pun duduk sambil memijat-mijat pelan lengan pria itu yang terasa lembab, dan dingin.
“Udah ‘ga panas, Bang.”
“Iya, Alhamdulillah. Malah dingin, sekarang.”
“Abang, kedinginan? Selimutan, ya?”
“Ndak, usah! Cuma dingin keringetnya, bukan kedinginan.”
“Nanti, Wiwid bikinin …” Kalimat itu terpotong oleh dering gawai milik Wiwid. Tanpa beranjak dari tempat tidur, perempuan tinggi langsing itu mengambil ponsel itu dari atas laci, lalu langsung menekan tombol jawab.
“Assalamu’alaikum, Bu Ketu!” Wiwid mengucap salam sambil melirik sang suami.
“Oh … Iya … Ehm, bener juga, sih!” ucapnya lagi terputus-putus, “Yaaa, kan udah diingetin kemaren, Bu Ketu! Udah kudu dikeluarin pengumumannya! Bulan ini aja, udah ada acara, ‘kan?”
Wiwid terdiam beberapa saat, menyimak baru kemudian berkata lagi, “Ya udah, sih! Pan udah cakep tuh, angkanya! Langsung aja, umumin! Bes … Iya … Ya, iya Bu! Kudu laporan dulu kita ke Kepsek sama Bu Desi. Sama Pak Karya, juga!”
Hening beberapa detik, lalu Wiwid bereaksi kaget, “Hah? Sekarang? Emang udah … Oooh, Bu Ketu udah janjian sama Bu Tania?”
Wiwid menatap pada sang suami yang sejak tadi tengah memandangnya, lalu berkata ragu, “Maapin, Bu Ketu. Ini suami lagi …”
“Kamu pergi saja, aku ndak apa-apa sendiri!” Budiman menukas membuat Wiwid langsung menjauhkan gawai dari wajahnya.
“Tapi, Abang ‘kan …”
“Ndak apa-apa, Wid! Wong udah tinggal ngantuk. Tidur bles, enak lagi badan,” ucap Budiman. Melihat istri tercinta masih terlihat ragu, ia pun menambahkan, “Bentar lagi juga, Imam datang, toh?”
“Iya, sih …”
“Yo, wis! Kamu pergi ae, ke sekolah!”
Sebelumnya, cukup sering Wiwid berbantahan dengan Budiman setiap kali ada urusan yang menyangkut tugasnya sebagai pengurus Angkatan. Sebagai istri yang perhatian, Wiwid sesungguhnya merasa tidak enak hati karena satu bulan belakangan sering tiba-tiba harus pergi ke sekolah. Seperti minggu itu saja, sudah dua hari berturut-turut ia diajak bertemu dadakan oleh tim inti lainnya. Belum finalnya Anggaran Angkatan 1223 yang menjadi penyebab diskusi berkepanjangan. Ambar, sang Ketua ternyata penuh keraguan karena ia taksampai hati untuk meminta orangtua murid membayar iuran bulanan, meskipun besarannya telah dua kali mengalami pengurangan.
“Heh, malah melamun, toh! Kawannya nunggu, iku!” Budiman memecahkan lamunan istri tercinta.
“Okeh, Bu Ketu! Bisa.” Akhirnya, Wiwid memenuhi permohonan untuk pergi ke sekolah Iqbal. Setelah menutup telepon, perempuan yang cukup mandiri itu pura-pura merajuk.
“Abang enggak betah ya, Wiwid di rumah?” tanyanya.
“Astaghfirullah, Wiiid! Mikirnya, toh koyo ngono!”
“Abis … Kayanya, Wiwid disuruh pergi-pergi terus.”
“Loh, kamu toh yang minta izin?”