Wiwid baru saja keluar dari menemani suaminya selama kurang lebih sepuluh menit, ketika ia kembali ke ujung selasar, Erina beserta Ambar ternyata sudah berada di sana. Mereka berdua tengah menengok ke kiri-kanan, hingga akhirnya bertemu mata dengan sosok yang dicari.
“Kirain ga jadi dateng,” ucap Wiwid saat mereka sudah saling berdekatan, kemudian ia memperkenalkan kedua rekannya itu pada Imam.
“Ooh, anaknya Mbak Wid ternyata!” ucap Erina ramah pada anak remaja yang sejak tadi duduk di dekatnya.
“Bagaimana kejadiannya tadi, Nak?” tanya Ambar setelah semua duduk. Imam pun menceritakan urutan kejadian persis seperti yang ia laporkan pada ibunya saat ditelepon. Tentu saja, anak baik itu menghilangkan bagian tentang pembayaran Klinik.
Setelah berbincang-bincang selama beberapa saat, Ambar, dan Erina membujuk Wiwid untuk bersantap siang di sebuah Rumah Makan yang berada tepat di sebelah Klinik. Mereka juga mengajak Imam untuk ikut.
“Makasih, Tante. Saya masih kenyang,” jawab putra sulung Wiwid.
“Kenyang makan apa?” tanya Erina.
“Gorengan, Tante. Barusan beli.”
“Mana kenyang! Ayuk, ikut aja!”
“Pemalu anaknya, Er!” celetuk Wiwid.
“Dibungkusin saja, nanti ya?” usul Ambar. Imam terlihat senang waktu menjawab dengan anggukan.
Ternyata, walau sebelumnya harus sedikit dibujuk, Wiwid langsung berselera makan begitu aneka lauk khas masakan Padang disajikan di atas meja. Baru teringat olehnya bahwa tadi pagi, ia lupa sarapan karena ajakan mendadak dari Ambar.
Sambil bersantap, Ambar memberi tahu Wiwid bahwa Hanum batal mengundurkan diri setelah dibujuk oleh Pak Raja. Namun, Wakil Ketua yang cukup sering berseberangan pendapat dengan Wiwid itu meminta agar untuk ke depannya tidak boleh lagi ada seorang pun pengurus inti yang tidak dilibatkan dalam membuat keputusan penting, terutama yang menyangkut anggaran, dan program Angkatan. Hanun juga berkata bahwa kejujuran serta rasa saling percaya harus dijaga antar sesama pengurus. Ironisnya, pernyataan itu bertolak belakang dengan informasi yang kemudian Wiwid terima dari Amanda beberapa saat kemudian.
Saat masih asik bersantap, Wiwid menerima telepon dari sahabat Hanum tersebut yang menanyakan kabar ayah Iqbal dan bertanya tentang hal lain setelahnya.
“Mbak siapa, sih yang jadi donatur buat tujuh belasan?”
“Gue juga enggak tau!”
“Mbak Wid, ‘kan bisa tanya ke Bendahara?”
“Udah. Cuma dijawab Hamba Allah.”
“Emang boleh gitu?”
“Bolehlah! Sering, kok!”
“Tapi, di grup pada ngucapin terima kasih ke Mbak Hanum, sih. Berarti dia kali, ya?”
“Tanya aja langsung ke Hanum!”