Emak-Emak Sekolahan

R Fauzia
Chapter #13

Lupa Becermin

Setelah sarapan di hari Sabtu yang cerah dan menyenangkan, Wiwid berniat untuk bersantai-santai saja, melanjutkan obrolan ringan dengan suami tercinta yang sudah pulih dari sakit. Saat Budiman dilarikan ke UGD, Wiwid merasa dunianya berguncang. Bahkan, sifat tangguh, dan pembawaan mandiri tidak bisa menahan rasa takutnya akan kondisi sang suami.

Wiwid ingat ia beberapa kali menangis dalam sujudnya. Ia bersyukur doanya terjawab. Budiman diizinkan pulang setelah dirawat selama dua hari. Dalam perjalanan pulang dari Klinik, ayah tiga anak yang sangat peduli pada keluarganya itu bertanya cemas tentang pembayaran biaya rawat inap beserta obat-obatan. Bahkan, ia bertanya kepada siapa mereka berhutang. Wajahnya terlihat murung begitu ia diberitahu tentang bantuan dari Ambar dan Erina.

“Malu, Wid …, sampe nyusahkan ibu-ibu sekolahan.”

“Malunya disimpen aja, Bang! Syukurin aja, dulu! Alhamdulillah, ada yang nolong.” Baru beberapa hari kemudian Wiwid menceritakan tentang inisiatif Iman menggunakan uang pendaftaran kuliah.

Sekeluarnya Budiman dari rumah sakit, Wiwid hanya diam di rumah menemani serta mengurus sang suami. Ia tidak ikut dalam pertemuan tim Inti dengan vendor Bimbel terpilih, bahkan perempuan yang gemar memasak itu memilih libur berjualan lauk. Cing dan Cang Arif datang menjenguk, mereka membawakan cukup banyak bahan-bahan masakan berikut uang sebesar lima ratus ribu. Kebaikan paman dan bibinya itu, sering Wiwid jadikan contoh saat ia menasihati ketiga buah hatinya.

“Contoh tuh, Ncing sama Ncang! Enggak pernah pelit. Sama siapa aja, bantu! Makanya enggak pernah susah! Lancar kaya aer rezekinya!” ucap Wiwid suatu ketika. Iqbal, sang putra tengah yang memang paling senang bercanda, malah menimpali dengan kalimat yang membuat orangtuanya menggeleng.

“Berarti Emak sama Bapak dulunya pelit kali, ye? Makanya enggak kaya-kaya!” celetuk siswa kelas XII yang mendamba untuk kuliah di Perguruan Tinggi Negeri di wilayah Depok atau pun Bogor. Saat itu reaksi Wiwid hanyalah menggoyang-goyangkan kepala sang buah hati dengan gemas sambil tertawa.

“Mak, Imam berangkat, ya! Motor Imam pake, ya Mak?” Suara Imam mengembalikan kembara pikiran sang bunda ke ruang makan.

“Gantenglu, Mam!” ucap Wiwid seraya menyodorkan punggung telapak tangan pada sang sulung yang sudah rapi, mengenakan setelan kemeja putih, dan celana pantalon hitam.

“Anak Bapaknya, toh?” timpal Budiman yang sudah terlihat segar dan mulai bisa bercanda. Saat putranya mencium tangan, ayah yang bangga itu memberi pelukan erat. Sedikit serak suaranya saat berkata, “Bismillah, sukses kamu, Nak.”

Wiwid merasakan tenggorokannya tersumbat gumpalan besar haru. Ia mengantar Imam hingga pagar halaman rumah dan baru kembali ke dalam setelah putranya berbelok di ujung gang.

“Makan siang, Abang mau nasi apa lontong lagi?” tanya Wiwid setelah berada di ruang makan. Dian, sang putri bungsu yang menjawab penuh semangat, “Aku lontong!”

“Masih ada lontongnya?” tanya Budiman.

“Masih.”

“Yo, wis! Lontong ae, biar kamu ndak usah masak nasi. Sisakan buat Imam, dia suka lontong sayurnya!”

“Wiwid bikin banyak, kok! Bisa buat sampe malem.”

Sabtu pagi di hari itu, langsung saja terasa sedikit lebih sepi karena satu anggota keluarga sudah mulai kuliah. Namun, Wiwid bahagia karena suaminya sudah sehat lagi. Tadi pagi, ia baru menyadari bahwa ada satu jerawat tepat di ujung hidung. Selama beberapa hari belakangan, perempuan yang selalu berpenampilan sporty itu bahkan lupa becermin. Fokusnya hanya pada suami, anak-anak, dan urusan rumah.

Sekarang setelah semuanya kembali normal, Wiwid punya waktu, atau lebih tepatnya punya minat untuk mengecek ponsel. Ada seratusan chat di grup Angkatan dan ada puluhan chat lainnya di grup orangtua murid kelas XII IPS E. Memanjat dan membacanya, membuat sang Humas Angkatan 1223 itu menggeleng.

Ada udangan sosialisasi Bimbingan Belajar yang akan diadakan hari Senin nanti yang dikirim oleh Pak Raja. Alih-alih memberi konfirmasi kehadiran seperti yang beberapa orang pengurus lakukan, Hanum malah mengirimkan foto beserta titik kordinat sebuah kafe baru. Ia juga mengirimkan beberapa foto menu restoran tersebut. Tentu saja, teman-teman dekat Wakil Ketua itu riuh menimpali dengan obrolan tentang rencana pergi ke sana. Konyolnya lagi, Hesti malah memberi usul untuk berkunjung di tanggal dan jam yang sama dengan pelaksanaan sosialisasi Bimbel. Mungkin, niatnya cuma bercanda, namun tidak pada tempatnya.

Khawatir, undangan penting menjadi tidak terbaca, Wiwid pun, mengirim ulang undangan dari Pak Raja ke grup, lalu membuat kalimat singkat, meminta kehadiran seluruh pengurus di acara penting tersebut. Ia juga melakukan hal yang sama di grup kelas XII E walau Amanda yang menjabat sebagai Ketua Korlas. Kurang dari lima menit setelah Wiwid melakukan aksi tersebut, ponselnya bordering.

“Haiii, Bu Humas! Sudah sehat? Sudah dong, ya!” Amanda membuka percakapan telepon.

“Yang sakit suami gue.”

“Oh iya, ya! Eh, Mbak! Itu di grup becanda, looh. Enggak beneran! Masa iya, mau makan-makan pas ada pertemuan? Disangka ngeboikot nanti!”

“Becandanya jangan nutupin pengumuman penting, dong!”

Lihat selengkapnya