Empat buah meja panjang yang telah dihias sedemikian rupa, terlihat sangat menawan. Ditengahnya, bunga-bunga cantik berderet memanjang dalam pot-pot pendek yang diberi pita berwarna glittery gold.
Ada 6 pasang kursi di kedua meja. Satu lusin peralatan makan lengkap telah tertata rapi di atasnya. Tentu saja tidak tersaji makanan di situ karena meja khusus hidangan dipasang di dua sisi ruangan, dua orang koki telah siap beraksi untuk melayani permintaan Beef Steak dan Chicken & Seafood Teppan. Sementara, salad, dimsum, sushi, dan bakso ada di meja buffet, berjajar dengan dessert. Meja minuman ada di posisi yang terpisah di pojok ruangan.
Untuk semua jenis sajian, Hanum memesan sebanyak 60 porsi masing-masing tetapi ia hanya mengundang 21 orang teman korlas, Pengurus Angkatan, dan Komite. Beberapa dari mereka meminta izin untuk mengajak putra atau putri mereka yang satu kelas dengan Ferrel dan Fenitta.
Dalam waktu setengah jam dari waktu yang ditentukan, dua meja sudah terisi penuh sementara dua lainnya baru terisi setengah. Anak-anak duduk di meja terpisah. Hanya ada tiga ayah yang hadir di acara itu, salah satunya adalah Pak Raja.
“Hanum, cantik sekali ruang ini! Oli pung taman di rumah, mau Oli bikin seperti ini!” Oli Klara memuji begitu masuk ke dalam ruang luar yang salah satu dindingnya dibuat dari sepenuhnya kaca untuk memberi pemandangan lepas ke taman dan kolam renang. Antara dinding transparan dan kolam tersebut masih ada teras beratap lengkap dengan satu set kursi serta meja.
“Bikin, Oli! Ini ruang serba guna!”
“Oli mau buat dengan kaca seperti itu! Biar seperti rumah-rumah Sultan di Jakarta!” Ucapan oma Klara itu membuat orang-orang tertawa. Kedatangannya dan juga Pak Raja seketika membuat suasana meriah. Setengah jam pertama yang diisi dengan gosip berganti dengan canda serta gelak tawa.
“Suami masih aktif dinas, Mbak Hanum?” Pak Deni yang duduk di samping Pak Raja, bertanya.
“Masih, Pak Den. Sebentar lagi masuk usia pensiun.”
“Loh, berapa usianya?”
“56 tahun, Pak.”
“Baaah! Masih muda kali untuk pensiun! Masa kerja pejabat tinggi itu sampai 60 tahun!” tukas Pak Raja.
“Pensiun dini maksudnya, Abang!”
“Janganlah pensiun dini!”
“Suami saya ingin buka bisnis sendiri, Pak Raja.”
“Oh ya, yaa! Bagus, itu!”
Obrolan diseling dengan menit-menit yang terpakai untuk memesan dan mengambil makanan di meja hidangan. Beef Steak serta Chicken & Seafood Tepan menjadi menu favorit hingga terjadi antrian di dua meja itu. Sambil menunggu, mereka yang mengantri terlihat berbincang-bincang ringan.
“Eh, Manda! Mana Wiwid dan Bu Ketua? Oli tara lihat mereka?” tanya oma Klara yang berpembawaan ramah dan lincah. Nama Oli adalah singkatan dari Oma Lincah yang diberikan oleh teman-teman di Komite.
“Diundangkah mereka?” tanya nenek yang memilih warna fuchia untuk pesta siang itu, tentu saja, lengkap dengan aksesoris serba bling-bling.
“Diundang, Oli,” jawab Amanda, “Mbak Wiwid enggak bisa. Kalau, Mbak Ambar … Aku enggak tahu dia datang apa enggak.”
Oli juga tidak bertanya lebih jauh lagi karena Seafood Teppan pesanannya sudah selesai dimasak. Lincah nenek usia kepala enam itu berjalan membawa piring yang harumnya mengingatkannya pada kampung halaman. Kampung tercinta ia tinggalkan demi mengurus cucunda kesayangan. Ketika oma yang ramah itu kembali meja, sudah ada orang lain mengisi bangkunya. Tanpa protes, Oli berpindah ke kursi lain, dan berbagi meja bersama tiga orang bapak yang sedang asik bersantap, dan membahas tentang carut-marut politik negeri.
Di mejanya, Hanum sedang membahas tentang pemilihan vendor Bimbel yang menurut mereka kualitasnya di bawah vendor sebelumnya yang sudah bekerja sama selama tiga tahun dengan SMAN 735.
“Gimana mau bersaing di PTN kalau enggak ngorbanin kualitas!” celetuk Rila salah satu dari lima teman dekat Hanum di sekolah.
“Biarin aja, sih! Biar orang lihat selera Ketua sekarang kaya apa!” timpal Hesti.
“Lagian heran, deh! Bisa-bisanya orang yang enggak pernah nongol, enggak pernah aktif dari kelas X, diusulin jadi Ketua!”
“Sohibnya Amanda tuh, yang punya kerjaan! Kayanya, buat dia, siapa pun asal bukan elu, Beib,” celetuk Hesti sambil dagunya diarahkan ke Hanum. Sang empunya nama hanya tertawa.
“Tetangga Mami ‘kan dia, ya Beib?” tanya Lira pada Hanum.
“Wiwid?”
“Bukanlah! Enggak mungkin banget! Ketua yang baru!”