Emak-Emak Sekolahan

R Fauzia
Chapter #16

Teman Dekat yang Tepat

Hanum dan teman-temannya telah meninggalkan ruang “Cita Sentosa” sekitar sepuluh menit yang lalu, namun gaung kalimat serta sikap demonstratifnya masih membekas di hati Ambar. Bahkan, pernyataan dukungan dari Pak Raja dan beberapa teman Korlas lainnya, belum berhasil membuat sang Ketua Angkatan terlihat lega. Ia masih duduk bersandar di kursi dengan tatapan kosong jatuh ke lembaran kertas berisi tabel Anggaran Angkatan 1223.

“Jangan dimasukkin ke hati, Mbak! Nanti juga normal lagi,” bujuk Erina yang bersama Wiwid masih setia menemani ketua mereka.

“Berarti doi enggak normal? Emang iya, sih!” Sebetulnya, kalimat itu diucapkan oleh Wiwid tanpa maksud bercanda, namun ternyata malah membuat Ambar tersenyum.

“Pusing saya, Mbak Wid,” keluhnya. Setelah memasukkan berkas dan barang-barang miliknya ke dalam tas, perempuan cantik yang anggun itu menatap kedua rekannya, lalu berkata, “Mbak Wid, Mbak Erina, ada acara?”

“Ngga ada!” jawab Erina.

“Makan siang bareng, mau ya?” Takada yang menolak ajakan itu bahkan saat Ambar berkata lagi, “Tapi, dua jam di sana, ndak apa-apa, ya?”

“Bagus, dong! Jadi pas sama jam jemput anak-anak! Ya ‘kan, Mbak Wid?”

Wiwid mengangguk sambil mengacungkan jempol. Bertiga mereka pun meninggalkan ruangan mengiringin langkah Ambar yang memutuskan untuk menggunakan mobilnya agar tidak perlu ada yang menyetir. Menuju tempat parkir, mereka melihat ibunda Audy yang masih duduk di tempat yang sama seperti saat mereka bertemu pagi tadi.

“Itu Mama Audy, dari tadi masih di situ, atau baru balik lagi, ya?” tanya Erina.

“Sepertinya, sempat pulang dulu. Ndak mungkin, duduk berjam-jam di situ,” jawab Ambar.

“Tapi, selalu di situ loh, Mbak! Iya ‘kan, Mbak Wid?”

“Iya! Gue juga bingung, ngapain?”

“Antar lunch, mungkin? Buat anaknya.” Seperti biasa, sang Ketua berpikir positif.

Ketika mobil van mewah milik Ambar meluncur keluar dari gerbang utama, Erina menunjuk pada sedan putih yang terparkir di seberang pagar sekolah seraya berkata, “Mobil itu, selalu ada di depan pagar sekolah kita, loh! Tadinya, aku pikir itu punya Mbak Renata karena dia sering ngeliat ke sedan itu. Ternyata bukan punya dia!”

“Emang bukan! Renata mobilnya merah tua,” timpal Wiwid.

“Eh, tadi adanya orangnya loh, dua! Cowok semua! Agak aneh sih, menurutku buat apa mereka parkir di situ terus? Mesti hati-hati sih, kita! Zaman sekarang, banyak orang jahat!” Merasa perkataan Erina ada benarnya, Ambar bertanya pada supirnya, “Pak Koko pernah lihat mereka?”

“Yang di sedan putih tadi, Bu?”

“Iya.”

“Sering, Bu! Saya sama supir lain curiga juga, Bu.”

“Satpam sekolah, tahu?”

“Saya enggak pernah tanya, Bu.”

“Mesti kita cari tahu, Mbak Wid.” Ambar berkata sambil menoleh pada sang empunya nama, lalu berkata lagi, “Takutnya, mereka mengintai anak-anak.”

“Siap, Buketu! Nanti ditanyain ke Satpam.”

Setelah setengah jam perjalanan, mobil pun masuk ke pintu gerbang sebuah hotel bintang lima hingga membuat mata Wiwid membelalak. Ia pun langsung bertanya, “Makannya di sini, Buketu?”

“Iya, Mbak Wid! Biar puas makan dan ngobrolnya. Ndak apa-apa, ‘kan?”

“Kalo ditraktir, gapapa bangeeet! Kalo bayar sendiri, gue balik aja ke sekolah, naek angkot!” Sikap Wiwid yang selalu apa adanya membuat kedua rekannya tertawa. Keluar dari mobil dan berjalan masuk ke restoran kelas atas berkonsep buffet, mereka bertiga terlihat sangat berbeda, namun juga terlihat akrab satu sama lain.

“Buketu, ulang tahun?” tanya Wiwid saat mereka bertiga sudah duduk di dalam restoran dan mulai menyantap makanan yang diambil dari meja buffet.

“Sudah lewat ulang tahun saya, Mbak Wid! Ini, saya ingin ngobrol santai saja, bertiga.”

“Sekalian ngedinginin kepala, ya Buketu?” tanya Erina yang dijawab anggukan dan senyuman cantik sang Ketua.

Belasan menit pertama, topik obrolan masih seputar anak, serta rencana kuliah masing-masing yang ternyata hampir sama yaitu Perguruan Tinggi Negeri di pulau Jawa. Ambar bercerita bahwa ia terpaksa menolak permintaan Tiara yang ingin kuliah di luar negeri semata karena emosinya yang belum stabil.

“Belum stabil gimana, Mbak?” tanya Erina.

“Anaknya masih mudah emosi, mudah terpengaruh juga dalam pergaulan. Saya ndak tenang melepas dia jauh-jauh tanpa pengawasan.”

 “Bukannya, waktu itu Mbak Ambar dan suami tinggal di Malang?”

“Beda, Mbak Er! Malang – Jakarta, saya bisa sering bulak-balik. Itu pun, saya ternyata Tiara bermasalah di sekolah.”

Wiwid langsung teringat pada kejadian tahun lalu ketika putri Ambar itu pernah menjadi topik hangat di sekolah karena sering bolos dan pernah beberapa kali dipergoki tengah berkumpul di jam sekolah bersama teman-temannya dari sekolah lain.

“Iya, Buketu. Ga usah keluar negeri! Anak perempuan, ngeri!” tukas Wiwid.

Obrolan terhenti dengan perginya Ambar dan Erina ke area seafood, bergantian dengan Wiwid yang ingin menambah daging sapi panggang saus jamur. Ia kembali ke meja dengan satu piring tambahan berisi beberapa potong bolu.  Tidak seperti dua rekannya, istri Budiman yang baru sekali seumur hidupnya bersantap di restoran hotel bintang lima itu, tidak peduli dengan urutan makan yang baku.

“Ini enak, bangeeet! Dagingnya empuk! Sanggup gue, nambah lagi!” Wiwid berkata dengan mata berbinar.  

Lihat selengkapnya