Emak-Emak Sekolahan

R Fauzia
Chapter #17

Renata dan Sedan Putih

Sudah masuk pertengahan bulan Oktober. Seluruh murid SMA Negeri 735 sedang menjalani Ujian Tengah Semester selama satu pekan. Di minggu tenang itu, tidak ada rapat pengurus Angkatan atau Komite. Hanya saja, berdasarkan hasil diskusi Korlas dan orangtua murid di grup kelas masing-masing, Bimbingan Belajar tetap diadakan tetapi jam pelaksanaannya dimajukan.

Hari itu, Wiwid mendapat giliran bertugas membagikan snack box untuk seluruh murid kelas XII dibantu dengan Oli Klara, dan satu orang kordinator dari kelas lain. Biasanya, dana untuk pembelian kotak berisi tiga macam camilan berat itu diambil dari uang donasi bulanan orangtua murid. Namun ternyata, cukup banyak sumbangan tambahan khusus yang diterima Bendahara Angkatan untuk kelas anak sang penyumbang.

Agar tidak terjadi kesenjangan antar kelas, pembelian makanan tetap dikordinir oleh Penanggung Jawab yang bertugas kecuali jika sang donatur ingin menyumbang untuk seluruh murid kelas XII. Sudah lima orang yang melakukan itu salah satunya Hanum yang menjadi penyumbang pertama di pekan UTS. Ia memesan Pizza ukuran personal berikut minuman dingin untuk semua siswa dan itu menjadi sumbangan paling fenomenal yang jadi pembicaraan anak-anak sepanjang semester.

Khusus snack boxes yang telah siap Wiwid bagikan adalah sumbangan khusus dari Oli Klara. Itu sebabnya nenek yang masih sangat sehat dan penuh semangat itu menukar jadwal piket dengan korlas lain. Ia ingin ikut membagikan camilan pesanannya. Namun, untuk bisa masuk ke kelas-kelas, mereka harus menunggu hingga Ujian Tengah Semester selesai. Jeda waktu satu setengah jam antara UTS dan Bimbel dimanfaatkan anak-anak untuk menyantap makanan kiriman, beristirahat, dan melaksanakan salat bagi yang menjalankannya.

Dengan bantuan anak-anak, distribusi snack boxes selesai dengan cepat. Para pengawas dan kakak-kakak mentor dari Aksara Cendekia juga mendapat bagian. Hanya para korlas dan pengurus yang tidak mendapat jatah, tapi itu adalah kesepakatan bersama untuk menghemat pengeluaran dana kas Angkatan.

Setelah urusan konsumsi Bimbel selesai, Oli Klara beserta rekannya langsung pulang, sementara Wiwid yang memang berniat pulang bersama-sama Iqbal, harus menunggu hingga kelas bimbingan selesai. Humas Angkatan yang disukai banyak guru itu pun memutuskan untuk jajan batagor di seberang gedung sekolah.

“Pulang, Bu Wid?” tanya Pak Satpam yang bertugas menjaga gerbang utama.

“Jajan, Mat! Laper!”

“Lah, emang kebagian makanan tadi, Bu?”

“Kagak, Mat! Lu aja enggak kebagian, apalagi gue!”

Pak Satpam tertawa, lalu menggeser pagar untuk ibunda Iqbal yang memang cukup dikenal di kalangan petugas sekolah. Wiwid mengucapkan terima kasih. Keluar dari pagar, ia berbelok ke kiri. Sekitar tiga meter dari situ, barulah ia menyeberang. Gerobak Batagor mangkal di situ, berbagi atap terpal dengan gerobak Es Teler yang juga menjual es Alpukat, dan Es Shanghai.

“Teler, Bu?” tanya penjaja es.

“Dosa! Harom!”

“Minuman es, Bu! Masa iya, saya jualan yang haram-haram di depan sekola’an.”

“Kalo ‘ga depan sekolahan, jualan?”

“Jualan, Bu! Es teler!” Jawaban itu membuat Wiwid tertawa.

“Jadi beli es enggak, Bu?” tanya Tukang Es masih gigih membujuk.

“Libur dulu, Bang! Sakit nanti saya keseringan jajan es teler!”

“Ya kagak, Bu! Ini mah, isinya buah-buahan sehat!”

“Sakit kantong maksudnyeee, Bang!” Tukang Es tergelak, walau jualannya tidak dibeli, ia tetap menggeser sebuah bangku untuk Wiwid. Kursi plastik tanpa sandaran itu disebut dengan nama “bangku bakso” oleh kebanyakan orang.

“Biasa, Bu?” tanya penjual Batagor pada Wiwid yang sudah dalam posisi duduk.

“Ya! Lima, dua!” Angka itu berarti dalam satu porsi, formasi batagornya adalah lima pangsit siomay, dan dua buah tahu. Sang penjaja yang sudah paham selera pelanggannya langsung beraksi.

Menunggu batagor digoreng, Wiwid mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah sedan putih yang diparkir di hanya satu setengah meter dari tenda Batagor membuatnya teringat pada kecurigaan Erina. Badan mobil itu diparkir sejajar dengan trotoar dan moncongnya mengarah ke kiri sehingga Wiwid bisa melihat dua orang pria yang duduk di dalamnya. Keduanya tengah menatap ke seberang, tepatnya ke taman oval di balik pagar sekolah.

Wiwid memiringkan badan untuk bisa melihat ke taman kecil yang sering dipakai duduk-duduk. Seperti yang ia sudah duga, terlihat Renata duduk di pagar tembok taman dengan posisi badan menghadap ke lapangan olahraga. Wiwid pun melakukan pengintaian tanpa beranjak dari tempat duduknya.

Ia bisa melihat Renata beberapa kali menoleh dan menahan pandangan ke arah sedan putih, lalu membuang muka, dan kembali menatap ke lapangan. Hal yang sama juga dilakukan oleh dua orang pria kekar dalam mobil, terlihat jelas mereka memandang ke arah rekan Wiwid dengan terang-terangan. Sesekali, dua pengintai terlihat berbincang singkat, atau memalingkan wajah ke arah lain. Jarak antara mereka dengan objek yang diintai kira-kira tujuh meter, cukup untuk saling melihat dengan jelas satu sama lain.

Lihat selengkapnya