Wiwid tengah menunggu Iqbal yang tengah menyalakan mesin motor, ketika terdengar panggilan lantang dari arah kiri area parkir khusus kendaraan roda dua. Ibu-anak itu menoleh dan melihat dua orang siswa kelas XII IPS-E berjarak lima motor.
“Woy! Napa?” tanya Iqbal takkalah lantang.
“Lo dateng ntar, ke ulang tahun si Kembar?”
“Kaga!”
“Dateng, aja!”
“Lu, ga diundang, Bal?” tanya teman Iqbal lainnya.
“Kaga! Makanya gue ‘ga dateng!” Sambil melambaikan tangan, putra tengah Wiwid memundurkan motornya, lalu memberi kode pada sang bunda untuk naik di belakang. Dengan kecepatan perlahan, kendaraan yang telah setia berbakti selama satu dekade lebih itu meninggalkan area sekolah. Di jalan utama, barulah Iqbal menambah kecepatan.
“Si Kembar bikin pesta, Bal?” tanya Wiwid setengah berteriak.
“Apa?”
Wiwid membuka kaca helmet dan mengulang pertanyaannya. Anggukan, ia terima sebagai jawaban.
“Kenapa lu, ‘ga diundang?”
“Ya, ‘ga tauuu!”
“Tahun lalu, ‘kan diundang?”
“Ya, ‘ga tauuu!”
Wiwid tidak bertanya lagi, namun ada yang terasa mengganjal di hati dan itu terbawa hingga tiba di rumah. Saat mereka sudah sampai ke ruang makan yang bersebelahan dengan ruang tamu super mungil, kembali ia bertanya. Tentu saja, jawaban yang diterima, masih sama.
“Kelupaan kali, Bal!”
“Kelupaan, gimana? Emang enggak diundang!”
“Tapi, lu ‘ga kenapa-napa?”
“Kenapa-napa, kenapa?”
“Ga sedih?”
“Idih! Ngapain sedih. Emangnye anak kecil!” Iqbal menjawab dengan santai, wajahnya pun takmenunjukkan kerisauan. Namun, Wiwid masih merasa terganggu. Ia pun memberi usulan, “Ga ditanyain aja, ke Fenitta? Kali aja, dia lupa.”
“Idih! Malu, Mak!”
Iqbal mendaratkan tubuh di kursi makan, lalu mengambil satu buah pisang dari satu sisir yang tersaji di meja. Sambil mengunyah, ia berkata, “Lagian, kalo diundang kayanya Iqbal males dateng, Mak.”
“Kenapa?”
“Ada dreskod-dreskod, gitu! Belum tentu juga ada duitnya, buat beli.”
“Emang, dress code-nya apa?”