“Mak, sepatu bola Iqbal udah jebol dikit, nih! Depannya, tuh! Sampe jempol nongol.” Iqbal membuka percakapan setelah santap pagi kilat yang hening di ruang makan. Ia sudah mengenakan pakaian olahraga sekolah dan tengah bersiap-siap untuk berangkat.
Belum sempat Wiwid menjawab, Dian juga melapor, “Mak, tali ranselku udah mau lepas! Jadi aku enggak bisa congkrang, takut putus.”
“Congkrang itu apa, Nduk?” tanya sang ayah.
“Gembol di punggung, Bapaaak … Enggak enak bawa tasnya, dipeluk kaya bawa karung beras.”
“Bawa beras sekarung! Bukan bawa karung beras! Karung mah, enteng!” tukas Iqbal.
“Yah, gitu aja diprotes, Bal!” kata Imam membela adik bungsunya. Kemudian, sulung dalam keluarga itu menoleh pada ibunya, dan bertanya, “Jadi, Imam enggak usah balik lagi ke rumah, Mak?”
“Ga usah! Nanti, lu …”
“Kamu …, Wid! Sama anak kok, la-lu, la-lu!” Mungkin sudah seribu atau bahkan sejuta kali, Budiman menegur Wiwid tentang itu, namun perempuan berdarah Betawi-Jawa itu masih saja sering lupa walau biasanya ia langsung meralat, seperti saat itu.
“Kamu … Abis nganter Dian sama Iqbal, ga usah pulang! Langsung aja jemput si Tono biar dia enggak telat!” ucapnya dengan lebih perlahan. Gaya bicaranya itu langsung menuai protes dari Iqbal.
“Ga pantes, Mak, kamu-kamuan!” protesnya. Ia pun langsung mendapat protes dari sang ayah.
“Kamu itu, Mam! Sudah bagus Makmu ngomong yang bener, malah diprotes,” tegur Budiman.
“Nah, kalo Bapak pantes kamu-kamuan! Kaga falesss!” Mendengar itu, Wiwid mengulurkan tangan, lalu mencengkeram bahu putranya dengan gemas.
“Udah, dah … daah! Buruan!” tegur Imam. Setelah berpamitan, sulung dalam keluarga itu lebih dulu pergi keluar untuk memanaskan mesin motor. Ia memang sedang terburu-buru karena setelah mengantar dua adiknya ke sekolah, ia harus menjemput temannya untuk pergi bersama-sama ke Cikarang. Sahabat sejak masa SMA itu mendapat panggilan tes pekerjaan di sebuah pabrik sepatu dan ia membayar Imam untuk mengantar pergi dan pulang agar tidak terlambat sampai tujuan, serta untuk menghemat pengeluaran.
Wiwid yang juga harus pergi ke sekolah untuk menghadiri rapat Pengurus Angkatan terpaksa menggunakan angkutan umum. Ia memilih menggunakan Jaklingko agar tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun walaupun waktu perjalanan lebih panjang dibandingkan jika ia naik angkot. Ibu tiga anak itu bersyukur pemerintah daerah kota Jakarta menyediakan sarana transportasi gratis yang sangat bermanfaat untuk masyarakat kelas bawah.
Empat puluh menit perjalanan dengan Jaklingko ditambah sepuluh menit berjalan kaki, Wiwid pun tiba di SMAN 735. Di selasar menuju lantai dua, ia berpapasan dengan Erina yang rupanya hendak mengambil charger laptop yang tertinggal di mobil.
“Mbak Wid, tumben telat?” tanya ibunda Cantika pada Wiwid yang hendak mengambil charger laptop di mobil.
“Naek Janglingko, gue. Motor dipake Imam, dia dapet orderan nganter temen ke Cikarang.”
“Yaaa … Kenapa enggak bilang? Kan bisa aku jemput.”
“Ah, ngapain? Repotin orang.”
“Enggak repot, dooong! Aku ‘kan lewatin daerah rumahnya Mbak Wiwid, cuma tinggal belok sedikit. Besok-besok, bilang, ya!”
Alih-alih mengiyakan, Wiwid malah bertanya, “Rapat udah mulai?”
“Sudah dari tadi! Sekarang lagi bahas invoice. Parah nih, aku! Bisa-bisanya charger enggak dimasukin ke tas. Agak telat bangun sih, tadi.”
Ketika mereka berdua sudah tiba di ruang rapat, layar di dinding menampilkan tabel rekapitulasi pengeluaran Anggaran 1223. Begitu mendaratkan diri di bangku, yang langsung menjadi perhatian Erina adalah nama file yang bagian tanggalnya sudah diganti dengan tanggal hari itu, persis yang ia pesankan pada Ambar.
Ketua Angkatan itu tengah menyampaikan tiga hal yang diamanatkan Ibu Kepala Sekolah kepadanya, yaitu tentang semakin berkurangnya jumlah siswa yang mengikuti Bimbingan Belajar, materi yang dianggap kurang efektif untuk mendongkrak nilai Try Out, serta adanya keluhan dari beberapa orangtua murid tentang donasi yang malah terkesan menjadi satu kewajiban.
“Ngeluh nilai TO rendah, anggaran Bimbel dipressed sampai gepeng, ya jadi dapetnya Bimbel kelas D!” kritik Hesti dan langsung ditimpali oleh Amanda, “Betul, itu! Sekarang protesnya ke pengurus.”
“Loh, memang pengurus ‘kan yang punya kuasa nentuin vendor!” Hesti menukas dengan dengan gaya khasnya yang sering membuat Wiwid sebal, apalagi ketika sahabat Hanum itu
menambahkan, “Makanya anak gue terpaksa double bimbel, di luar! Untung anaknya rajin, jadi seneng-seneng aja, dia!”
“Iya, anakku juga! Barengan sama Heidy, sama Fey!” timpal Amanda yang langsung dikomentari oleh Lira yang berkata, “Padahal Bimbel yang kita pakai tahun-tahun lalu, sudah terbukti bagusnya! SMA kita sudah kaya pindahan masal aja ke PTN.”
“Kata siapa? Dua tahun kemarin, turun, kok!” tukas Wiwid. Ia merasa jengkel karena kembali grup penentang Ambar itu mengungkit-ungkit topik yang sudah menjadi keputusan.
“Makanya butuh Bimbel yang bagus! Mereka gercep sama perubahan kurikulum!”
“Ibu-ibu! Tolong fokus!” Pak Raja menengahi. Ia menerima pengeras suara yang disodorkan oleh Ambar dan berkata lagi, “Pembahasan kali ini bukan lagi soal memilih vendor Bimbel, tapi bagaimana membuat anak-anak kita semangat hadir biar nilai TO mereka bisa naik.”
Setuju, Pak Raja!” Erina yang sudah merasa lelah dengan sikap beberapa rekannya itu, akhirnya bersuara.
“Buketu! Mungkin, kita bisa minta bantuan Walas untuk mengawasi anak-anak di setiap bel bubar sekolah. Supaya, anak-anak enggak ada yang ngabur,” usulnya.
“Setuju! Soalnya Korlas sudah ngingetin orangtua setiap awal minggu tapi enggak mempan,” timpal seorang kordinator kelas dari jurusan IPA.
“Enggak semua yang enggak ikut, itu ngabur, loh! Banyak yang Bimbel di tempat lain juga!” kata Lira yang anaknya juga merupakan salah satu yang tidak pernah hadir karena bimbingan di tempat lain, “Enggak salah, dong orangtua nyari yang bagus buat anak sendiri!”
“Sama sekali enggak salah, Mbak! Tapi, mungkin biar tertib administrasi, bisa info ke Walas kalau memang ikut di tempat lain.”
“Males kaliiii …, info tiap hari! Kaya enggak ada kerjaan, ajah!”
“Ya, enggak harus tiap hari, Mbak! Cukup informasi ke Walas satu kali ajah, bilang kalau tidak bisa ikut Bimbel di sekolah karena jamnya bentrok dengan les di luar,” ucap Erina, sudut matanya menangkap mimik puas Wiwid.
“Bagus itu! Harusnya begitu!” Pak Raja berkata sambil memberi acungan jempol dan seperti yang hampir selalu terjadi, setiap ia bicara, tidak ada lagi yang memberi bantahan.
“Baik, jadi untuk topik absensi bimbel, tolong Mbak Wid, berkoordinasi dengan Walas-Walas, ya Mbak?” pinta Ambar.
“Siap, Buketu!”