Ketika Wiwid bersama Ambar dan Erina tiba di selasar pinggir lapangan, pertandingan futsal Putri sedang berlangsung antara kelas XII IPS E dan IPA C. Diberlakukan sistem gugur untuk Class Meeting Semester itu.
Tiara, putri bungsu Ambar masuk dalam tim inti mewakili kelasnya. Gadis tinggi langsing itu cukup gesit dalam mengocek bola. Gerakannya sulit untuk diantisipasi oleh tim lawan yang seperti Tiara bukan siswi yang gemar berolahraga. Berbeda dengan Class Meeting tahun-tahun sebelumnya, untuk pertandingan cabang olahraga Semester itu, pesertanya adalah murid-murid mereka yang tidak suka olahraga. Begitu pun sebaliknya, untuk lomba seni, para atlet andalan kelaslah yang menjadi peserta.
Perubahan peraturan lomba antar kelas itu, ternyata malah menjadi tontonan menarik, dan sangat menghibur. Di luar dugaan, ternyata cukup banyak murid-murid yang punya bakat terpendam di luar keahlian yang sudah mereka tekuni, contohnya Tiara. Gadis yang selama ini dikenal dengan kemahirannya dalam bidang Visual Design ternyata cukup lihai dalam menggiring bola ke gawang.
“Tiara kereeen! Calon atlet ini, mah!” Erina yang bersama Ambar dan Wiwid duduk di pinggir lapangan memuji.
“Kalo tau dari dulu, ikut tim sekolah, Mbak!” timpal Wiwid. Ambar tersenyum, lalu berkata, “Kan memang tidak ada tim Futsal Putri di sekolah ini, Mbak Wid.”
“Bisa ikut tim Basket, Mbak! Betilah!”
Di sepanjang pertandingan, beberapa korlas yang masih bertahan terlihat bersemangat memberi dukungan pada tim yang didukung, sambil berkali-kali berfoto ria. Hanya Wiwid dan kedua sahabatnya menonton yang tidak bergabung dengan yang lain. Setelah menjadi sasaran kecurigaan dan kritikan, Erina berserta Ambar lebih memilih duduk terpisah agar bisa menikmati pertandingan dengan tenang.
Para koordinator kelas memang tidak bertugas karena minuman dan makanan yang dipesan menggunakan dana dari kas Angkatan, sudah didistribusi ke Guru Wali masing-masing kelas. Untuk pembagiannya pun, Ketua Kelas beserta tim yang tidak bertanding yang akan bertugas. Keputusan itu disahkan oleh Ambar agar anak-anak lebih bebas dari intervensi para orangtua murid. Namun, dalam praktiknya masih saja ada orangtua yang ikut campur, bahkan ikut mengambil bagian dalam lomba terutama dalam lomba menghias kelas.
“Titiiii …! Awasss! Di belakang kamu!” Ambar tiba-tiba saja berteriak karena melihat seorang gadis dari tim lawan berlari menuju putrinya dan bersiap melakukan gerakan sliding atau menjatuhkan Tiara.
Putri Ambar itu menoleh, namun ia sedikit terlambat. Kaki sang lawan sudah mendarat di betis Tiara hingga membuat gadis itu terjatuh. Bola dari kakinya terpental, lalu menggelinding ke arah ibunya. Ambar menangkap bola itu, ditunggunya putri bungsu kesayangan mendekat. Namun, gadis itu malah mengambil bola dengan kasar, dan menghujam netra ibunda dengan tatapan penuh amarah.
“Bisa enggak, ga usah teriak-teriak? Udahlah, Mama enggak usah nonton!” ucapnya kasar. Senyuman Ambar seketika lenyap, namun perempuan yang sangat sabar itu masih mengucapkan kata maaf walau tanpa balasan. Melihat itu, Erina serta Wiwid saling bertukar pandang.
Sekelompok murid kelas XII yang juga sedang duduk-duduk di situ melihat kejadian itu. Mereka mengikuti gerakan Tiara dengan hingga gadis itu kembali beraksi di tengah lapangan. Salah seorang dari mereka berkomentar lantang, “Ada Malin Kundang!”
“Kundang kalo cowok, kalo cewek Kuyang!” timpal satu anak lainnya dan mereka pun tertawa terbahak-bahak. Melihat wajah sedih Ambar, Wiwid pun mengajak kedua sahabatnya berpindah tempat.
“Cari minum, nyok! Gue auuus! Pengen yang dingin-dingin!”
“Yang ada kopi, ya!” pinta Erina. Ketiganya pun sepakat untuk pergi ke kedai kopi di seberang sekolah. Lagi-lagi, mereka melewati Renata yang sedang duduk di tempat favoritnya, namun sekali itu, ia duduk membelakangi pagar menonton putrinya yang juga ikut bertanding.
“Buketu, aku nanya boleh, ya? Tentang Tiara, tapi.” Erina membuka obrolan saat mereka bertiga sudah saat kopi pesanan sudah diletakkan di meja. Ambar yang sedang menyeruput minuman dinginnya, mengangguk.
“Waktu hari Jumat, Tiara sampai rumah gimana?” tanya Erina. Wiwid yang tidak tahu-menahu, ikut bertanya, “Emang, Tiara kenapa?”
Ambar pun bercerita sedikit tentang kejadian Jumat malam. Kedua temannya menggeleng-geleng, terlebih saat Erina menambahkan tentang obrolan anak-anak di pesta yang ia dengar dari Cantika.
“Aku langsung, Mbak, nasehatin Cantika tentang teman yang baik, dan teman yang harus dijauhi. Aku enggak mau, anakku seperti itu,” kata Erina, “Kok bisa, ya? Anak-anak masih SMA ngomong begitu tentang orangtua? Cowok pula!”
“Yang ngomong bukannya, Fey?” tanya Wiwid.
“Bukan! Tapi, kembarannya! Aneh, ‘kan?”
“Anak jaman sekarang, yang sekolah badannya doang! Mulut sama otak, ‘ga tau kemana!”
Ambar tertawa getir, lalu berkata, “Seperti anakku.”
Hening sejenak, namun kemudian Wiwid berkata, “Beda, Mbak! Tiara, kayanya begitu karna lagi marah! Bukan lagi ngebully!”
“Betul, Mbak Wid!” Erina menoleh pada Ambar, lalu bertanya lembut, “Tiara marah sama Mbak Ambar gara-gara hari Jumat itu?”
Ambar mengangguk.
“Tapi, ‘kan bukan salah Mbak Ambar!”
“Memang salah saya, Mbak! Tiara juga bilang begitu.” Ambar pun menceritakan tentang kemarahan Tiara serta aksi diam sang putri yang kembali memburuk sejak kejadian itu.