Emak-Emak Sekolahan

R Fauzia
Chapter #23

Time Flies

Di setiap permulaan kelas XII, para guru selalu berkata bahwa satu tahun ke depan akan menjadi tahun ajaran yang paling pendek bagi para murid paling senior di sekolah. Tanpa mereka sadari, pekan Ujian Tengah Semester tiba, diikuti Penilaian Akhir Semester, dan pembagian rapor yang rasanya berjalan dalam sekelebatan waktu saja.

Wiwid tahu bahwa kalimat itu tidak mengada-ada, ia merasakannya sendiri. Rasanya baru saja libur Semester Ganjil berlalu, mereka sudah harus bersibuk ria dengan persiapan Wisuda yang tanggal pelaksanaannya hanya tinggal dua bulanan lagi. Pemilihan tanggal dan gedung sudah disepakati walau seperti biasa, melalui debat kusir yang sangat alot. Pilihan gedung akhirnya ditentukan berdasarkan mayoritas suara yang setuju pada usulan Hanum walaupun membutuhkan dana yang jauh lebih besar.

Dengan alasan ingin memberikan kenangan terbaik bagi seluruh murid kelas XII di momen terakhir mereka sebagai anak sekolah, Hanum mengusulkan sebuah ballroom Hotel bintang lima. Namun, ia akan menjadi donatur untuk menutupi selisih biaya penyewaan gedung. Wiwid yang masih tidak setuju, mencoba mengingatkan akan resiko terjadinya protes dari orangtua murid seperti yang terjadi pada Angkatan tahun lalu.

“Kelewatan kalau ada yang complain-complain! Sudah enggak mau ngurus, dikasih kemudahan, masih juga complain?” tanya Hanum satir. Namun kemudian, penanggung jawab acara Wisuda itu menambahkan, “Tenang aja, deh! Saya sama Pak Raja akan bikin Wisuda Angkatan 1223 lebih keren dari yang lalu-lalu! Sudah! Yang lain tinggal terima jadi!”

Ternyata, apa yang ditakutkan oleh Wiwid terjadi. Sekolah menerima protes dan pengaduan, bukan hanya dari satu orangtua murid, melainkan lima sekaligus. Dua di antaranya malah mengancam akan mengadu langsung ke Dinas Pendidikan. Akhirnya, Pengurus Inti Angkatan 1223 pun kena getahnya.

Di ruang kerja Kepala Sekolah, Ambar diminta menjelaskan proses diskusi hingga terlahirnya keputusan pemilihan gedung Wisuda, berikut skema donasi yang harus ditanggung orangtua murid. 

“Begini, Bunda-Bunda, dan Pak Raja juga! Seperti yang pernah saya sampaikan, spirit sekolah ini adalah kebersamaan, semua yang kita ikhtiarkan harus dengan semangat dari kita untuk kita! Kami berterima kasih para pengurus dan semua korlas sudah bekerja keras, sudah mengorbankan waktu, bahkan rela berkorban materi demi kepentingan anak-anak! Tapi, jangan lupa, kadang niat baik pun bisa ditanggapi berbeda, terutama untuk yang sifatnya sensitif.”

Ibu Tania berhenti sejenak, melihat pada Ambar yang mengangguk pelan. Di bangkunya, Hanum duduk tegak, rahangnya mengeras, namun ia masih menahan diri.

“Jadi, untuk pemilihan gedung pun, tidak semua orangtua murid sepaham. Bukan hanya karena biaya, tetapi lebih ke masalah prinsip bahwa bermewah-mewahan di situasi yang sedang serba sulit saat ini, dirasa kurang mendidik. Maaf, saya terpaksa menyampaikan apa yang saya terima dari beberapa orangtua murid,” lanjut Bu Tania.

“Kenapa mereka tidak diundang juga ke sini, Bu?” protes Hanum.

“Saya rasa tidak perlu, Bunda.”

“Iya, sih! Saya juga malas harus bicara dengan mereka!”

Erina menggeleng tanpa ia sadari membuat Wiwid mencolek bagian belakang lengan sahabatnya itu. Baru saja, Ambar hendak mengatakan sesuatu, telepon di meja Bu Tania berdering. Kepala Sekolah berhijab yang berpembawaan tegas itu pun berjalan ke mejanya. Dalam percakapannya dengan sang penelepon, Bu Tania menyebut kata-kata Wisuda, dan juga permohonan maaf beberapa kali. Ia bicara seperti seorang anak buah yang sedang mendapat teguran dari atasan. Ketika ia kembali ke sofa, satu kalimat pembuka darinya menjelaskan segalanya.

“Panjang umur! Pengaduan tentang masalah ini sudah masuk ke Pusat,” ucapnya.

“Aduh … Maafkan kami, ya Bu,” kata Ambar dengan wajah cemas.

Lihat selengkapnya