Tidak ingin Sekolah mendapat sangsi karena urusan gedung Wisuda, Ambar mengajak tim inti untuk bergerak cepat mencari gedung pengganti, sambil membahas hal-hal penting lainnya. Ia juga mengajak mereka untuk mengadakan rapat kilat di berempat di sebuah restoran. Sepakat untuk berangkat ke sana menggunakan mobil Pak Raja, Wiwid meminta waktu untuk menitipkan kunci motor ke Office Boy agar diberikan ke Iqbal nanti.
“Mau ditemenin, Mbak Wid?” tanya Erina.
“Ga usah, Er!” jawab Wiwid seraya pergi berlalu. Langkahnya cepat dan panjang-panjang. Di lobi dan di selasar kelas, tidak terlihat Office Boy yang dicari. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menitipkan saja kunci motor ke satpam sekolah.
Agar tidak melewati selasar kelas lagi, Wiwid memutar lewat selasar ruang guru, lalu melintasi lapangan. Mendekati taman kecil yang membatasi lapangan dengan jalan masuk dan keluar gerbang utama, ia refleks menoleh ke kiri. Ada Renata di situ, namun ia berdiri, tidak duduk seperti biasanya.
Wiwid melihat ke seberang jalan dan seperti yang sudah ia duga, ada mobil sedan putih terparkir di situ. Namun, kala itu jendelanya terbuka. Sang pengemudi yang masih Wiwid ingat wajahnya tertawa-tawa sambil menunjuk pada Renata. Sementara, teman yang duduk di sebelahnya mengacungkan pisau belati kecil, juga ke arah ibunda Audy. Pria itu juga tertawa-tawa. Baru Wiwid sadari bahwa wajah Renata yang berdiri menatap ke sana terlihat sangat tegang.
Tanpa pikir panjang, Wiwid berlari keluar pagar, menyeberangi jalan, dan menghampiri sedan putih itu. Kemudian, tanpa rasa takut ia memaki sang pemilik mobil.
“Heh! Pergi dari sini atau gue laporin satpam!” tegurnya galak.
“Lu yang pergi!” jawab pria yang duduk di bangku sebelah pengemudi dengan tatapan menantang, tangan kanannya masih memegang pisau.
“Lu bawa-bawa piso di area sekolah? Mau gue teriakin rampok?”
Orang yang membawa pisau terlihat marah, tangan kirinya yang bebas langsung meraih gagang pintu, namun temannya mencegah.
“Tenang! Tenang, Bu! Kita bukan rampok!” ucapnya pada Wiwid, kemudian sambil menunjuk ke titik di mana Renata berdiri, ia berkata, “Suami ibu itu yang rampok!”
Wiwid menoleh ke arah yang ditunjuk, lalu melihat kembali kepada sang pemilik mobil yang memberi kode dengan kibasan tangan. Ketika sedan putih itu berlalu, butuh beberapa saat untuk Wiwid mencerna kalimat terakhir yang ia dengan tadi. Sebelum menghampiri Renata, ia mengirim pesan pada Erina untuk menunggu sedikit lebih lama.
Sepertinya ibunda Audy sudah mengira bahwa Wiwid akan menghampirinya dan langsung bertanya, “Orang itu bilang apa tadi, Mbak Wid?”
“Mbak Ren kenal sama orang-orang itu?” Melihat keraguan Renata, Wiwid berkata lagi, “Gue mau lapor ke Satpam! Gue punya foto mobilnya.”
“Jangan dulu, Mbak!”
“Kenapa jangan? Emang, Mbak Renata kenal?”
“Iya, saya kenal.”
“Dia bawa-bawa piso loh, Mbak!”
“Iya, saya lihat tadi.”
“Ya, udah! Laporin aja, Mbak! Kalo Mbak ga berani ngelapor, gue yang laporin!”
Renata menggeleng, lalu memegang lengan Wiwid sambil memohon, “Saya minta tolong, Mbak Wid, jangan bilang ke Satpam! Jangan cerita ke siapa pun. Kasian Audy.”
“Mbak Wiwid buru-buru?”
“Iya, udah ditunggu mau pergi. Gapapa, cerita aja sebentar! Kenapa dia sampe bawa-bawa piso, Mbak?”
“Mereka ada urusan bisnis sama suamiku.”
“Debt collector?”
“Bukan! Urusan uang, tapi bukan debt collector,” jawab Renata, “Tapi, saya yakin mereka tidak akan berani macam-macam. Mereka cuma gertak, saja.”
“Tapi sering loh, kesininya!”