Empat kali Try Out lagi, Bimbingan Belajar untuk kelas XII akan selesai. Di luar bimbingan tersebut, tidak ada materi pelajaran sekolah, namun murid-murid jenjang tertinggi di SMAN 735 itu masih harus rutin ke sekolah untuk urusan foto ijazah, foto Buku Tahunan Sekolah, dan latihan untuk acara Wisuda.
Dua puluh tujuh siswa dari Angkatan 1223 telah mendapat bangku di Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNBP atau Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi, beberapa dari mereka malah sudah harus bulak-balik keluar kota mengurus pendaftaran dan lain-lain. Cantika, Ferrel, dan Marcia putri tunggal Pak Raja termasuk yang berhasil melalui jalur prestasi.
Iqbal yang mundur dari daftar siswa eligible masih berjuang nanti, di Seleksi Nasional Berbasis Tes yang akan berlangsung di minggu ketiga bulan April, begitu juga Tiara, dan Fenitta. Kedua putri aktivis sekolah itu ingin mengambil program studi prodi Film dan Televisi di Universitas Negeri dambaan mereka di Bandung.
Pagi itu, Wiwid mendadak harus ke sekolah karena tim BTS meminta bantuannya untuk mengawal anak-anak di sesi pemotretan outdoor. Suara lantang Wiwid dirasa akan sangat berguna untuk memberi komando kepada para siswa, begitu kata Amanda di telepon. Memasuki gerbang sekolah, terlihat Pak Raja tengah berbincang berdua bersama Renata di pagar batu taman kecil. Belakangan, mereka memang menjadi akrab satu sama lain.
Keberadaan Pak Raja, sepertinya cukup manjur karena sedan putih pengintai Renata menjadi semakin jarang terlihat. Mungkin, postur tubuh sang bodyguard yang tinggi besar membuat duo pengintai takut. Hanya saja, mulai terdengar komentar-komentar usil dari beberapa pengurus tentang kedekatan dua orangtua murid beda gender itu.
“Eh! Mbak Wid, bertugas?” tanya Pak Raja dengan aksen Bataknya yang cukup kentara saat Wiwid mampir.
“Biasa, Bang! Disuruh jadi mandor! Ngangon bocah!”
“Siapa yang nyuruh?”
“Amanda! Tahu ada Abang, saya ga dateng! Biar Abang yang jadi mandor!”
“BTS, ya Mbak Wid?” tanya Renata tanpa beranjak dari duduknya.
“Iya, Mbak Ren! Gabung ke sana, yok!”
“Saya di sini saja, Mbak Wid.” Renata menoleh pada Pak Raja dan berkata, “Bapak, silakan kalau mau ke sana!”
Alih-alih menjawab, ayahanda Marcia malah berkata pada Wiwid, “Saya nyusul, Mbak Wid!”
“Oke, Bang! Santai, aja!”
Wiwid pun pergi berlalu. Tegap langkahnya menuju lobi sekolah. Di sana sudah terlihat sekelompok anak putri yang sedang berdandan. Sebagian besar anak lainnya berada di lapangan. Semua murid sudah mengenakan pakaian sesusai dress code. Tim fotografer berseragam sudah standby lengkap dengan peralatan canggih mereka. Untuk urusan BTS, Amanda serta Hesti berkeras memakai vendor pilihan mereka dengan menanggung biaya jasa tim fotografer. Jadi, Bendahara Angkatan hanya akan menerima invoice cetak Buku Tahunan Sekolah.
“Heh, Mbak Wid! Ngapain ganggu orang pacaran?” Amanda langsung menyambut Wiwid dengan gosip.
“Hah? Siapeeee yang pacaran?”
“Iiih, pura-pura engga tahu, nih Mbak Wid!”
“Belom kali pacaran! Baru pedekate!” Seperti biasa, Hesti memberi bumbu pedas banyak-banyak.
“Heeh! Banyak anak-anak, woy!” tegur Wiwid.
“Udah pada gede!”
“Pedekate, gencar bangeeet!”
“Puber kedua!”
“Yakiiiin, kedua?”
Gosip tek-tok antara Amanda dan Hesti membuat Wiwid menggeleng dan langsung memberi teguran keras, “Eh, itu orangtua murid, loh! Punya keluarga! Punya anak di sini! Kalo sampe ribut, lu-lu pada, bawa dosa sampe ke akherat!”
“Mbak! Udah, Mbak! Nanti suaranya abis buat mandorin anak-anak!” timpal Hesti sambil tertawa-tawa. Kemudian, ketiga ibu beda berkarakter kuat itu bersama-sama berjalan menuju lapangan. Hampir dua jam, mereka semua berpanas-panasan di lapangan untuk sesi pemotretan. Mereka baru beristirahat setelah Oli Klara, Hanum, dan dua orang Korlas lain datang bersama petugas catering.
Pak Raja ikut bersantap bersama para pengurus ruang rapat kecil, sedangkan yang Renata menolak bergabung, berpamitan pergi entah kemana.
“Pak Raja, gimana urusan gedung? Beres, Pak?” tanya Amanda duduk di sebelah Hanum.
“Beres!”
“Aps sih, yang ‘ga beres sama Pak Raja?” tanya Wiwid dengan nada bangga.