Emak-Emak Sekolahan

R Fauzia
Chapter #26

Menuai yang Ditanam

Rasanya baru beberapa bulan yang lalu, Wiwid menasihati Iqbal untuk lebih giat belajar di kelas XII. Rasanya, baru sebulan lalu, siswa jurusan IPS itu mengundurkan diri dari daftar siswa eligible, dan rasanya baru seminggu yang lalu, ia mogok dari Bimbel di sekolah. Sekarang, Wiwid kembali di hari penentuan nasib sang putra tengah kesayangan yaitu hari diumumkannya hasil Seleksi Nasional Berbasis Tes.

Berbeda dengan kakaknya yang membuka pengumuman di rumah setahun lalu, Iqbal memilih melihat hasil seleksi di sekolah, bergabung bersama teman-teman, para Wali Kelas, dan beberapa guru pendamping. Wiwid bersama tim inti dan sebagian Korlas juga datang ke sekolah, namun mereka menunggu di ruang terpisah.

Berbeda dari biasanya, dalam ruangan yang diisi hanya oleh ibu-ibu murid itu, tidak terdengar gelak canda seperti biasa, sepertinya semua tegang walau masih berusaha untuk terlihat tenang. Wiwid sendirian tanpa dua sahabat terdekatnya karena Cantika putri Erina sudah berhasil di jalur prestasi, sedangkan Tiara yang masih harus berjuang di ujian tulis memilih melihat pengumuman di rumah bersama ibu dan ayah sambungnya.

“Mbak Wid! Jangan bengong!” Dari bangkunya Amanda berteriak dan Hesti langsung menimpali, “Mati gaya Mbak Wid, enggak ada temennya!”

“Stres gue! Ga nafsu ngomong!” jawab Wiwid dengan santai.

“Tenang, Mbak Wid! Ada temen stresnya! Gue juga stress, kok!” ucap Hanum yang belakangan sikapnya menjadi lunak terhadap Wiwid. Itu terjadi karena kejadian yang menimpa Bu Istira.

Di grup kelas, Hanum menyebarkan cerita tentang sang guru honorer yang membuat diri sendiri kecelakaan untuk mengalihkan perhatian semua orang dari kasus pinjol yang membelitnya. Walau ada beberapa orangtua murid yang membela Bu Istira, namun dengan dukungan Hesti yang menambah bumbu-bumbu pedas gosip. Cerita karangan pun semakin berkembang termasuk kisah tentang debt collector yang masuk ke dalam sekolah dan mengancam anak-anak dengan menggunakan pisau.

Tidak cukup sampai di situ, Hanum juga menemui Kepala Sekolah sebanyak dua kali, yang pertama untuk melaporkan tentang pesan ancaman yang masuk ke nomor pribadi anak-anak, dan yang kedua untuk memprotes penanganan sekolah yang dianggapnya sangat lambat dalam memberi tindakan disiplin untuk Bu Istira.

Berselang satu hari, Pak Raja membagikan informasi tentang kunjungan Wiwid, Ambar, dan Erina ke rumah sang guru Bahasa Indonesia yang ternyata menuai banyak simpati. Di luar dugaan, hal itu membuat Hanum panik, dan merasa bersalah. Ia pun meminta tolong pada Wiwid untuk menyampaikan permohonan maafnya kepada Bu Istira.

Untuk memberi efek jera, Wiwid mengajak Hanum menemui Kepala Sekolah untuk menjelaskan tentang hal yang sebenarnya terjadi menyangkut gosip pinjol. Dalam pertemuan itu, Wiwid juga menyebutkan bahwa ialah yang langsung menegur dua orang pengitai di sedan biru, jadi berita tentang kedua orang itu masuk ke sekolah, dan mengancam anak-anak dengan pisau adalah tidak benar. Sayangnya, usaha kedua pengurus Angkatan 1223 itu tidak bisa menyelamatkan karir Bu Istira walau kontraknya tidak diputus, melainkan hanya tidak diperpanjang. Merasa bersalah, Hanum memberi donasi yang cukup besar pada guru cara mengajarnya disukai oleh para muridnya itu.

Mbak Wid, nanti selesai pengumuman, saya boleh ngomong sebentar? Saya sekarang di tempat biasa. Pesan itu dari Renata. Tidak langsung menjawab, Wiwid lebih dulu bertanya pada temannya, “Manda! Masih lama enggak, ya?”

“Masih, setengah jam lagi , ‘kan? Itu juga kalau jaringannya lancar,” jawab Amanda, melihat sang penanya beranjak dari bangku, ia pun bertanya, “Mau kemana, Mbak Wid?”

“Ke depan, bentaran!”

Kurang dari lima menit, Wiwid sudah bersama Renata yang langsung berkata, “Enggak harus sekarang, Mbak Wid, kesininya.”

“Gapapa, Bu Bos!”

“Jangan panggil saya, Bos!”

Lihat selengkapnya