š„š„š„
Matahari sedang mengerjap-ngerjap. Daun-daun pohon mangga yang terembus angin menutupi wajahnya yang telah bersinar. Hampir pukul enam pagi.
Kala sudah menyelesaikan jadwal memasaknya hari ini. Berhubung kumadang subuh datang lebih awal, setelah mengaji Alquran setengah jam, dia langsung pergi ke bakul sayuran. Sementara, Vey membersihkan rumah karena dia harus sampai di sekolah tepat pukul tujuh--jarak dari rumah ke sekolahan sekitar dua puluh menit.
Kala memasak simpel dengan rasa seadanya. Untungnya, Vey jarang sekali protes jika Kala memasak dengan rasa yang tak tentu, kadang asin dan kadang terlalu hambar. Meskipun, over all hasil masakan itu sudah cukup baik. Hari ini dia memasak sop sayur kubis, sosis, bunga kol, dan wortel. Lauk tempe krispi dan sambal kecap pedas level lima. Porsi masaknya juga tak banyak supaya tidak terlalu lama. Karena biasanya, sore nanti dia masih akan memasak lagi, entah masih dengan menu yang sama atau berbeda.
Jam berdenting menunjukkan menit sudah melebihi lima belas. Kala buru-buru mengambil sepatunya di rak setelah pamitan dengan Vey yang baru selesai mandi. Dia mengeluarkan sepedanya dari ruangan samping yang sudah dibuka Vey tadi saat hendak memanasi motor.
Baru beberapa menit perjalanan, dia bertemu dengan Syarif. Remaja paling pintar se-sekolahan yang kebetulan dulu pernah satu kelas dengannya. Dia mengayuh sembariĀ melibatkan diri dalam percakapan ringan. Syarif yang pada dasarnya remaja laki-laki yang cukup humble, membuat dia menjadi salah satu idola anak-anak kelas sembilan--khususnya perempuan. Tapi, tidak dengan Kala yang suka berbincang-bincang dengan Syarif karena dia tahu ke mana Syarif ingin melanjutkan kuliah.
Syarif ingin melanjutkan pendidikannya ke STAN. Mimpi yang sangat besar. Penuh ambisi. Wajar karena ayah Syarif sendiri seorang dosen di IAIN Pasuruan, kampus harapan Kala. Dosen yang kata Vey cukup killer. Tapi, untungnya Syarif tidak seperti itu. Tapi, seperti yang Kala tahu bahwa Syarif memang tipikal laki-laki yang suka memperjuangkan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Dengan kecerdasan dan keuletannya, maka sudah pasti mudah bagi Syarif untuk menggapai mimpinya ke STAN. Dan, satu yang paling penting, bahwa Syarif remaja laki-laki yang sederhana. Yang mau berangkat bersepeda daripada menggunakan motor.
"Kalau kamu pengen ke mana?"
"Aku di sini aja, Rif. Biar bisa nemenin Onni Vey juga."
"Kamu keren," ucap Syarif spontan.
"Keren gimana maksudnya, Rif?"
"Sekolah nyambi usaha. Aku nggak bisa seperti itu."
"Halah, ngapain repot-repot bikin bisnis kalau kamu sudah disediakan fasilitas lengkap sama Ayahmu. Iya, kan?"
"Kakakku mau ulang tahun. Aku pesen lettering-nya dong."
"Oh, iya mau ukuran frame berapa?"
"Yang agak besar. Yang 20R."
"Eh, kalau segede gitu enaknya sketsa wajah aja. Atau sketsa terus dibingkai sama doodle juga bisa."
"Iya, ya. Oke. Nanti aku kirim fotonya ke kamu."