Vey mematut diri di kaca.
"La, pantes nggak ini? Atau, aku pakai rok aja, La?"
Kala belum keluar kamar.
"Kala?"
"Bentar. Lagi pakai sarung," teriaknya.
"Apa? Sarung?" Vey mengerutkan dahinya. Dia pun menghampiri Kala. Penasaran sarung bagaimana yang Kala maksud.
Vey melebarkan pintu. Melongokkan kepalanya. "Serius pakai sarung? Awas mlorot."
"Aku masih lihat tutorial ini..makanya."
"Ya Allah, repot amat kamu, La. Pakai rok aja. Aku juga mau ganti rok. Kok nggak pede ke pondok celanaan begini."
Vey ke kamarnya. Mengubah penampilan. Mengganti rok dan jilbab.
Berulang kali Kala memastikan sarungnya tidak melorot. Tapi, ternyata tak semudah yang ada di tutorial. Sampai akhirnya dia pun menyerah. Mempertimbangkan kemungkinan daripada tiba-tiba melorot di tengah jalan. Lalu, dia mengambil rok plisketnya warna hitam.
Vey kembali berdiri di tengah pintu. Dia menunjukkan rok levisnya, warna biru pudar. Tapi, Kala hanya melirik dan belum menanggapi. Dia masih repot menautkan jilbabnya dengan jarum pentul sekaligus membetulkan ujung bergo jilbabnya yang belum rapi.
Awalnya Syarif menawarkan diri untuk menemani, tapi Kala tetap menolaknya dengan alasan ada Vey yang pasti mau menemaninya. Padahal, dia hanya tidak ingin dilihat kurang sopan, datang ke pesantren bersama pria yang bukan mahramnya. Setidaknya dia tahu apa yang harus dilakukannya nanti dan Syarif sudah sedikit membimbingnya.
Perjalanannya membutuhkan waktu kurang lebih empat puluh menit. Kurang setengah jam lagi azan magrib. Kala tak bisa berangkat awal karena harus bolak-balik mengantarkan pesanan. Dengan wajah sedikit panik, dia mencoba mengedarkan pandangannya ke sembarang arah.
Vey menoleh. Dia melihat ada santri laki-laki yang bersepeda motor, lalu turun saat hendak memasuki gerbang. Dia pun berbisik, "Turun, La. Santrinya pada turun itu. Nggak sopan."
"Ohhhh." Kala buru-buru menuruni motornya.
"Aku kok bingung kita harus ke mana dulu, ya, Onni."
Vey berjalan ke depan. Lalu, berhenti setelah beberapa langkah melewati garis gerbang. Dia mendekati salah satu santri putra yang usianya masih SMP.
"Dek, rumahnya Gus Omar sebelah mana?"
Kemudian, Vey kembali mengedarkan pandangan sebentar. Santri putra itu menyuruhnya menatap ke sudut timur sebelah jalan menuju utara. Vey mengangguk-ngangguk. Dia pun diberitahu agar segera ke sana karena Gus Malik akan keluar pesantren setelah magrib. Dia pun mengucapkan terima kasih setelah santri itu pamit menyisih. Dia menoleh ke belakang. Menyuruh Kala mendekat.
Kala memarkir motor di sebelah barat, di bawah kanopi, di tempat yang bertuliskan parkir khusus tamu. Dia mensejajari langkah Vey yang menyerong ke kiri.
Berhubung ini masih pertama kalinya mereka masuk ke pesantren, Vey dan Kala terlihat begitu kikuk. Takut salah. Terutama Kala yang tidak berani uluk salak meskipun Vey sudah mendorong-dorongnya. Vey membuang pandang. Mengabaikan sikap Kala yang ngeyel. Sampai akhirnya ada sosok laki-laki berambut gondrong sepundak keluar mempersilakan mereka masuk. Kala hanya membatin, mungkin dialah yang dimaksud Gus Omar.
Kala dan Vey masuk dengan menunduk-nunduk.
"Kang, Kang?"
Seperti jin dalam botol, yang dipanggil kang itu langsung menyembul dari balik pintu sebelah kanan. Menatap Kala sebentar sebelum akhirnya langsung menjatuhkan dengkul sembari mendekat ke arah Gus Omar.
"Kang, tolong dibuatkan minum!"
Dia mengangguk.