Tiga minggu kemudian.
Seperti halnya di UIN Satu Tulungagung yang membuka pendaftaran mahasiswa baru dari luar negeri--Amerika, Thailand, Vietnam, Palestina, Turki, Lybia, Nepal, Syiria, maka begitu pula di IAIN Pasuruan yang membuka pendaftaran itu sejak enam tahun lima tahun terakhir. Termasuk menerima mahasiswa dari Pakistan, Malaysia, Singapura, Myanmar, dan India.
Kebetulan sekali Kafil Jaan adalah pria berdarah asli Pakistan dan Malaysia. Ayah dari Pakistan dan ibunya dari Malaysia. Pria muslim yang kerap disapa Kafil itu menerima mandat dari pemerintah setempat untuk berkuliah di luar negeri. Bersama lima belas kawannya, dia diminta mendaftarkan diri di Indonesia, tepatnya di IAIN Pasuruan. Selama program belajar tuntas sarjana, dia mengambil jurusan manajemen bisnis yang pada tahun 2018 lalu telah terakreditasi A.
Kafil sengaja mengambil jurusan yang ketika itu memang sangat digemarinya yaitu mengelola bisnis. Dimana dia dalam kesehariannya sudah cukup terbiasa mengelola sebuah restoran milik keluarganya sendiri. Restoran makanan khas yang ada di Indonesia, cafe and resto halal food yang ada di korea selatan, dan kafe tempat nongkrong anak muda yang ada di Malaysia--tak jauh dari rumah ibunya. Dari ketiga bisnis itu, dia bersama enam anggota keluarganya mengelola bisnis itu bersama-sama. Setelah lulus, dia dan kakak laki-lakinya telah dipasrah untuk mengelola restorannya yang ada di Pakistan. Karena itulah, mau tak mau dalam beberapa waktu dia harus terbang ke sana, pulang ke kampung halaman untuk memantau langsung.
Kunjungannya dalam setahun terakhir, memang cukup lama. Karena, dia harus belajar memasak langsung pada salah seorang chef dari Italia. Selain tertarik pada dunia bisnis, rupanya memasak pun telah menjadi hobinya sejak lama. Tidak hanya menjabat sebagai CEO restoran yang dinamainya "Jaan Resto", dia juga turun langsung memasak, mengajari, sekaligus belajar menjadi koki yang lebih andal. Maka wajar, jika dia begitu rindu dengan kekasih yang telah dipacarinya selama tiga tahu terakhir.
"Kaf, aku mau ngomong sesuatu.."
"Iya, Na." Kafil menoleh pada kekasihnya.
"Kita sudah lama deket. Apa kamu..." Perempuan itu memotong kalimatnya sendiri. Sebetulnya dia tak mau membahas hal-hal seperti itu saat ini. Tapi, dia merasa harus segera membahasnya. Dia hanya ingin tahu kepastian.
"Kapan aku melamar kamu? Kamu ingin menanyakan itu, Na?"
"Iya, Kaf. Mama dan Papimu kan sudah kenal aku."
"Oke. Tapi, aku masih punya adik. Kita tunggu sampai adikku lulus. Setahun lagi. Are you okay?"
"Yah. I'm fine kok. Aku nggak menyuruh kamu terburu-buru. Tapi, kita harus ada komitmen ke sana. Jadi, persiapannya juga bisa dari sekarang."
"Kamu tidak perlu siap-siap apa pun. Aku yang akan tanggung semuanya."
"No. I can do it. I can also prepare it. I'm serious" (Nggak. Aku bisa melakukannya. Aku juga bisa mempersiapkannya. Aku serius)
"Oke oke. Kita sabar dulu. Kita nikmati yang ada, Na. Aku minta maaf kalau sudah membuatmu menunggu terlalu lama."
"Nggak juga, Kaf. Dulu emang aku yang pengen kita nggak usah buru-buru."
"Love you, Na."
Perempuan itu hanya membalas senyum.