Sebetulnya ada perempuan yang diam-diam menyimpan suka pada Omar. Tak hanya suka, tapi juga mengidolakannya. Perempuan itu bernama Nurmaya. Dia yang setiap hari menyediakan tempat duduk dan meja untuk singgasana Omar saat mengajikan kitab di pesantren putri. Dia yang merelakan parfumnya habis untuk membasahi sajadah dan bantal di singgasana itu. Dia yang pertama kali bersiaga membalikkan alas kaki Omar saat tiba di pintu aula. Dia yang menyediakan minum, entah itu kopi ataupun teh, supaya Omar tak merasa kehausan di tengah membacakan maknan kitab. Tapi, dia selalu tak percaya diri menunjukkan dirinya saat Omar terlihat lebih membuka diri pada santri-santrinya. Dia malu merekomendasikan dirinya sebagai calon istri yang pantas, sedangkan dirinya hanya anak seorang nelayan. Tinggal di Gondang Wetan, di wilayah pesisir Pasuruan.
Nurmaya yang kerap disapa Yaya. Bukan santri kesayangan dan bukan santri ndalem. Juga bukan pengurus dan santri dengan prestasi baca kitab kuning yang baik. Dia hanya santri dapur yang biasanya dimintakan memasak khusus untuk Omar. Karena, Omar sendiri tak pernah memikirkan urusan makan. Disamping memang sudah ada tim khusus untuk memasakkan keluarga ndalem, terutama abah sepuh dan Omar.
Dalam dua tahun terakhir sejak abah sepuh sudah sering sakit-sakitan, sedangkan bu nyai telah wafat, kakak ipar dari kakak Omar yang bernama Ning Bulqis merekrut santri-santri yang pandai memasak. Dalam perekrutan itu, Nurmaya yang telah menyimpan kekaguman pada Omar, nekat mendaftarkan diri. Dia tahu, selain diminta untuk memasakkan untuk keluarga ndalem kesepuhan, dia juga akan lebih sering berkesempatan mempersembahkan cinta dan pengabdiannya dengan cara yang sederhana. Maka, dia dan tiga orang kawannya pun diterima. Hingga kini, dia dan tiga kawannya itulah yang setiap hari memasakkan untuk ndalem kesepuhan yang hanya dihuni oleh anak pertama dan anak kedua abah sepuh.
Pagi ini, Nurmaya melihat Omar tengah menggerai rambut basahnya di bawah sinar mentari yang baru saja keluar dari balik pohon kelengkeng. Sekali-kali dia ingin sekali melihat Omar mengikat rambut itu, lalu ditutupinya dengan peci rajut warna hitam. Meski begitu, kapan pun dan di mana pun tempat dan keadaannya, Nurmaya tetap menganggap Omar begitu luar biasa. Dia selalu memandangnya di atas rata-rata laki-laki lain. Dengan tetap menyendirinya Omar saat ini, Nurmaya diam-diam melambungkan harap. Bila suatu saat nanti, barangkali ada kemungkinan Omar akan memandangnya sebagai santri yang pantas untuk dirinya.
Dan alangkah terkejutnya saat dia tiba-tiba dipanggil Omar. Sementara, dia tengah asik melamunkan sesuatu bersama pemilik suara.
"Kelengkengnya sudah mateng, Nduk."
Hanya inilah yang disayangkan Nurmaya. Kenapa dari awal Omar bertemu dengannya, dia selalu dipanggil dengan sebutan itu. Memberi kesan terpaut jauhnya usia mereka.
"Njenengan purun (mau), Gus?"
"Boleh, Nduk. Gak usah banyak-banyak. Sedompol aja."
Nurmaya pun mengambil sapu karena dia tak bisa meraihnya dengan tangan. Sekali pun berjinjit. Hingga Omar sedikit menertawakannya.
"Bisa gak?"
"Bisa, Gus."
Pyok! Pyok!
Nurmaya pun berhasil menjatuhkan kelengkeng itu. Dengan sigap, dia mengambili kelengkeng yang menggelundung ke mana-mana. Meniup-niup kelengkeng yang sekiranya terkena debu.
"Sini, sini, sini!"
Nurmaya diminta untuk membawakannya ke meja. Lalu, kembali memunguti kelengkeng yang lain. Dia juga berniat mengambilnya lagi.
"Udah ini aja," kata Omar sembari mengupasnya sebiji.
"Nduk, kamu tak jodohkan sama Kang Abi mau?"
Dahi Nurmaya otomatis berkerut. Nama itu terdengar tidak asing, tapi dia tak berhasil menemukan wajah pria itu dalam sekejap. Dia pun mendekat. Memperjelas kembali melalui tatapannya yang tak lurus.
"Kalau kamu mau, gampang tak obrolkan sama dia."
"Ngapunten, Gus. Tapi....anu Kang Abi itu siapa?"
"Kamu nggak kenal Abi?"
Nurmaya menggeleng pelan. Karena mendengar pertanyaan itu, dia merasa harus mengulang kembali sederet wajah santri di pesantren Mahbubah ini. Yang sekiranya lebih famous di antara santri lain. Tapi, dia menggeleng lagi.