🥀🥀🥀
Acara harus segera dimulai. Syarif memberi aba-aba Kala agar segera bersiap di barisan tempat duduk kepsek, moderator, pembawa acara, narasumber, dan ketua pelaksana. Namun, Kala masih mengondisikan dirinya. Untuk pertama kalinya dia memberanikan diri menjadi pembawa acara. Sebetulnya itu masih lebih baik ketimbang menjadi moderator.
“Itu masih biodatanya Gus Omar lo. Sebelum kepsek datang, mendingan kamu ke panggung gih, Rif. Tanyain biodatanya Pak Abi.”
Syarif langsung ke panggung begitu Kala selesai bicara. Dia terlihat berbisik-bisik dengan Abimana. Lalu, menuliskan sesuatu di kertas yang dipegangnya. Dia pun kembali mendekati Kala.
“Coba lihat!”
“Ini.”
Kala membacanya pelan-pelan.
“Rif, Pak Abi beneran lulusan Al-Azhar Kairo?”
“Ya kalau Pak Abi bilang begitu pasti benernya. Kenapa kaget?”
“Nggak nyangka.”
“Tuh, kamu bisa tanya-tanya ke dia kalau pengen tahu caranya bisa kuliah di sana. Narsum langsung sama orang yang sudah berpengalaman kuliah di sana. Jangan buang kesempatan, La.”
“Hih, Rif. Tapi, aku malu. Nggak kenal sama beliau.”
“Nanti aku bilangin, deh.”
“Nggak usah, Rif.”
“Sudah kubilang jangan buang kesempatan. Kamu belum tentu bisa ngobrol lagi sama dia. Kecuali kalau kamu sengaja pengen ketemu.”
“Mmm...”
Syarif menoleh. Mempersilakan kepala sekolah menempati tempat duduk. Kala, Syarif, dan moderator menyusul.
Melihat para siswa masih ramai berbincang-bincang sendiri, Kala mengulur napas. Dia membukanya dengan suara tenang dan lantang. Menyembunyikan ketidakpercayaannya dengan memandang satu per satu siswa yang bisa terjangkau penglihatannya. Dia sempat menoleh ke luar aula dimana Nurmaya ada di sana sedang mengangkat tangannya—memberikan semangat.
Acara pembukaan milad dan sarasehan tak berlangsung lama. Sekitar dua jam. Berakhir pukul setengah sebelas siang. Dan sesuai yang dijanjikan Syarif tadi, dia meminta tolong pada Abimana untuk menemui Kala di ruang OSIM—ada di belakang aula. Tadi dia sudah meminta Kala agar stand by di ruangan.
Mela dan Ruma duduk lesehan di ruang OSIM sembari memakan snack. Tapi, Kala hanya memainkan bolpoinnya dengan gerak-gerik yang tidak jelas.
“La, udah kaya mau dilamar aja lu,” celetuk Mela. Dia menertawakan.
“Kira-kira aku mau tanya apaan, ya?”
“Yang lebih spesifik. Kan tadi garis besarnya udah diceritakan tuh sama Pak Abimana. Yang tadi udah dibahas jangan kamu tanyain lagi, La,” saran Ruma.
Ada yang mengetuk pintu. Kepala melongok terlebih dahulu sebelum akhirnya seluruh tubuhnya terlihat di tengah bingkai pintu.
“Assalamualaikum?”
Mereka bertiga menjawab kompak. Kalalah yang kemudian mempersilakan Abimana duduk.
“Ada yang mau dibicarakan?” tanya Abimana. Langsung to the point.
“Serius amat?” batin Mela.
“Tidak ada kok, Pak. Syarif tadi mungkin iseng menyuruh Pak Abi datang ke sini.”
“Bener gitu?”
“Iya, Pak. Iya,” jawab Kala serius.
“Oke. Aku ke bawah kalau begitu.”
“Iya, Pak Abi.”
Abimana bangkit. Ketika di tengah pintu dia kembali menoleh. “Kamu biasa dipanggil Kala atau Habibah?”
“Kala.”
“Ya. Oke.”
Ruma berbisik, “Emang ada yang panggil kamu Habibah?”
“Ada.”
Ruma mencebik.
“Loh, iya emang ada. Dibilangin kok.”
“Siapa? Pak Abi?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Gus Omar.”
“Widihhh, kaya panggilan sitimewa aja itu,” kata Mela.
“Is-ti-me-wa, Mel.” Ruma membetulkan.
“Gapapa.”
“Nggak istimewa. Wajar. Kebanyakan nama panggilan itu dari kata pertama.”
“Betewe, ya, La tadi yang sama kamu siapa? Istrinya Gus Omar apa istrinya Pak Abi?”
“Bukan. Ngawur kamu. Dia itu Nurmaya. Teman jaman SD dulu. Tapi, gak tahu kenapa dia bisa ikut.”
“Istrinya Pak Abi mungkin?” Ruma menerka-nerka.
“Ah, bukan. Bukan lo, Rum. Nggak kelihatan suami istri kok mereka. Lagipula Nurmaya masih seaku. Masak iya sudah nikah. Dia itu mondok di Pondok Mahbubah sana. Tapi, aku nggak tahu persis Pak Abi atau Gus Omar sendiri apa sudah nikah atau belum. Cuman tadi aku lihat ada perempuan pulang bersama beliau. Jadi, tadi itu di mobil berlima. Satunya sopir pribadi. Terus kalau Pak Abi kemungkinan besar belum menikah. Aku yakin sembilan puluh persen. Udah, ya, aku mau nemuin Nurmaya dulu. Kalian siap-siap aja tampil. Tampilkan yang terbaik, Mel, Rum. Aku tunggu drama kalian.”
Kala beranjak.
“Yaya Yaya?”
Nurmaya yang sedari tadi di luar aula tidak berpindah posisi. Dia duduk di sana. Ketika Abimana menawarinya ikut ke ruang guru, dia menolak dan memilih menunggui Kala menemuinya.