🥀🥀🥀
“Gimana kamu jadi ke rumah aku? Bisa nggak?”
“Maafin, ya, Kala. Belum bisa. Sopirnya mungkin sebentar lagi jemput. Allah belum rido aku ke rumah kamu.”
Kala menatap Abimana yang sedang mengangkat telepon dari seseorang. Tak lama kemudian, Abimana berjalan ke arahnya.
“Gus Omar mau bicara.”
Nurmaya terbengong sekejap. Tangannya bergetar menyongsong handphone Abimana.
”Enggeh, assalamualaikum, Gus?”
”Supirnya nggak bisa jemput, Nduk. Masih aku ajak ke luar kota. Abi sudah tak suruh manggil sopir yang lain kalau ada. Kalau nggak, yo kamu tunggu sampai datang. Jangan nekat pulang ke pondok sendirian. Paham?”
”Hmm.. Inggeh, Gus. Berarti saya di sini sampai nanti?”
”Kalau sopir lain nggak datang.”
”Enggeh, Gus. Terima kasih banyak.”
”Kalau mau jajan bilang saja sama Abi. Puasa nggak kamu?”
”Mm...Mboten, Gus.”
”Ok.”
Sambungan pun terputus.
“Terima kasih, Kang.”
“Gus Omar ke Tuban. Sowan ke mubaligh acara haul besok.”
“Oooo.” Nurmaya mengangguk.
“Kang Abi pulang sekarang atau nunggu sopir juga?”
“Aku ada jam setelah dzuhur. Aku tinggal berani?”
“Berani kok, Kang.”
“Oke.” Abimana pun mengeluarkan dompetnya. Memberikan selembar uang lima puluh ribu.
“Tidak usah, Kang.”
“Pesan Gus Omar begitu. Jangan ditolak.”
“Tidak usah, Kang. Bener. Saya tidak harus jajan.”
“Kamu butuh makan siang.” Abimana memaksa.
“Bener, Ya. Makan siang penting. Nggak makan jadi kurusan,” kata Ruma.
Nurmaya menerimanya dengan malu-malu. Pemandangannya justru terlihat seperti istri yang mendapatkan jatah dari suami atau malah anak kecil yang akan ditinggal orang tuanya.
Para siswa menempati posisinya masing-masing. Bergerumbul di depan panggung, duduk-duduk di stand, menata kursi di bawah pohon, menggelar karpet di depan kelas. Pembawa acara pentas seni bersiap naik ke panggung. Semua siswa bertepuk tangan dan bersuit-suit. Beberapa siswa berteriak-teriak tidak keruan mendapati model MAN Pasuruan sedang beraksi di atas panggung dengan kemampuannya membawakan acara.
Nurmaya duduk di sebelah Kala. Mendekap sempol yang belum juga dimakan.
“Aku temenin makan, Ya.” Kala menggigit sempol yang baru diangkatnya dari wajan.
Nurmaya mengikutinya.
Abimana pamitan sekali lagi. Menyuruh Nurmaya hati-hati di luar pesantren. Jika ada apa-apa, dia meminta agar Kala segera meneleponnya.
“Kamu beneran tidak apa-apa di sini. Suasananya nggak kaya di pondok lo, Ya.”
Nurmaya tersenyum. “Ya nggak apa-apa, La. Gus Omar kok yang minta aku tetap di sini. Beliau yang ingin aku ikut. Katanya, biar jadi obat rindu. Aku kan dulu pernah pengen sekolah di MAN.”