🥀🥀🥀
Ketika Abimana menjelaskan pelajaran Alquran Hadis kepada santri-santri putri kelas sepuluh di MA Mahbubah, handphone-nya mendadak bergetar. Gerak tangannya pun berhenti, dia menoleh. Meminta izin kepada santri-santri untuk mengangkat telepon sebentar. Jika yang menelepon Gus Omar, dia tak berani mengabaikan.
”Nurmaya ke mana, Bi?”
”Di sekolah, Gus.”
”Barusan sopir bilang, dia nggak ada di sana. Cari dia, Kang!”
”Ngapunten saya selesaikan penjelasan pelajarannya, Gus. Nanti saya cari.”
”Iya. Nanti langsung kamu cari. Bisa repot kalau dia nggak ada di pondok.”
Gus Omar langsung memutus sambungan.
“Apa mungkin ke rumah Kala? Padahal, tadi sudah aku bilang nggak usah,” gumamnya kemudian.
Dia melanjutkan penjelasannya sekitar lima belas menit. Jam pelajaran masih setengah jam. Lantas dia meminta santri-santri untuk mengerjakan soal latihan dan wajib dikumpulkan di mejanya.
Dia kembali menelepon Gus Omar, nihil jawaban. Dia pun mengirim pesan, meminta nomor handphone Kala, masih centang dua. Setelah dia turun tangga menuju parkiran, dia kembali memeriksa. Ternyata masih sama, pesannya belum dibaca. Tapi, dia tahu apa yang harus dilakukannya. Dia kembali ke MAN untuk menemui Syarif.
Syukurlah dia masih sempat bertemu dengan Syarif di depan gerbang. Syarif memanggilnya dan menanyakan ada apa. Sebelum dia bertanya, Syarif dengan sendirinya mengatakan kalau Nurmaya pergi pulang dengan Kala.
“Antarkan aku ke sana! Aku gandol.”
Syarif menerima tawaran itu.
Setibanya di rumah Kala, dia melihat sandal Nurmaya teronggok di depan. Dia turun dari motor. Meminta Syarif untuk berjalan mendahuluinya.
“Assalamualaikum?”
Kala menjawab salamnya cukup lantang. Tapi, Nurmaya buru-buru mojok di dekat lemari piala.
Tak hanya Kala yang terbengong, Abimana pun terdiam.
“Aku dulu pernah ke sini menemui seseorang,” batinnya.
Kala bangkit. Dia menyuruh Abimana dan Syarif masuk. Dia juga mengatakan kebetulan sedang makan siang. Tapi, Syarif justru menolak dan langsung pamit pulang. Sekali lagi dia mempersilakan Abimana masuk. Dia memberitahu kalau Nurmaya sedang bersamanya. Sekaligus meminta maaf karena dia telah pergi membawa santri tanpa izin.
Vey berdiri tepat di depan Abimana yang masih mengingat kapan terakhir kali dia datang ke rumah ini. Rumah yang ternyata tempat tinggal Kala dan kakaknya. Vey ke ruang tamu dengan masih memakai celemek penuh cat akrilik dan cat minyak. Termasuk pipi dan keningnya yang terkena cat berwarna putih dan biru. Dia mempersilakan Abimana duduk.
“Pak, maaf saya dan Nurmaya baru mau makan siang. Monggo, Pak! Saya ke dapur dulu.”
“Tidak perlu,” tegas Abimana. Dia memperhatikan Kala sekilas, lalu memandang Vey yang kembali berlalu ke samping dapur.