Embun

Syifaanur Al Fitria
Chapter #1

Tak Terhitung

“Gila lo! Mau lo apa? Ratna punya gue!” Remaja lelaki dengan seragam putih abu-abu mencengkram kerah baju pemuda dengan seragam putih hijau, khas sekolah swasta yang bersisian dengan sekolah negeri ternama di provinsi itu.

Pemuda dengan seragam putih hijau tersenyum miring, “Mana ada? Lo pacarnya? Bukan kan? Jangan sok bilang dia punya lo!”

Lelaki berseragam abu-abu makin terbakar emosinya, ia mengangkat tangan, hendak memberi lebam pada lelaki yang ia sebut perebut cintanya.

Lelaki berseragam putih hijau terkejut kaget, ia memejamkan mata takut. Untungnya, tangan yang terangkat itu tak berhasil sampai di wajahnya. Seorang perempuan berwajah datar tiba-tiba menangkis pukulan lelaki berseragam putih abu dengan tangan kecilnya.

“Lepas!” titahnya mutlak.

Lelaki berseragam abu yang napasnya naik turun mau tidak mau langsung melepas cengkramannya. Wajahnya berdecak kesal. Meski begitu, jiwanya ciut.

“Ngerebutin cewek?” tanya perempuan itu, masih dengan wajah datar.

“Dia yang rebut pacar saya, Bu!” ujar lelaki berseragam abu–yang dikenal sebagai Abi.

“Bohong, Bu! Ratna loh gak punya pacar, makanya saya berani dekati dia!” ujar lelaki berseragam putih hijau.

Perempuan yang dipanggil “Bu” hanya menghela napas panjang, “Ikut saya!” Itu perintah, tidak boleh ada yang menolak. Siapa sih yang gak kenal perempuan yang dipanggil Bu Zea itu? Selain paras cantik, gadis bernama Zea dikenal tidak bisa dibantah. Kalau ada yang berani membantah, ia tak segan untuk memberi hukuman di luar nalar.

“Bu… ini sudah waktu pulang. Saya takut dicariin…” ujar si lelaki berseragam abu.

Sontak sorot mata Zea menghunus tajam ke arah Abi, “Gitu? Oke, kalau begitu ikut saya biar kamu ga dicariin…”

Abi menelan ludah, hatinya kini gusar bukan main. Dia melirik lelaki berseragam putih hijau, berharap dia bisa menghentikan gurunya.

“Ehm, maaf, Bu. Saya sudah dijemput supir saya. Saya harus segera pulang,” ujar lelaki berseragam putih hijau–Raka–sembari melangkah mundur.


“Kamu Raka, kan? Adiknya Aleksa?”

Raka menatap gadis itu lekat, matanya membulat ketika melihat tatapan tajam perempuan itu. Itu teman kakaknya, gadis yang selalu diceritakan sebagai perempuan galak tanpa ampun. Raka langsung tertunduk, matanya banyak berkedip, keningnya berkerut, “Astaga, kenapa harus ketemu teman kakak sih?!”

“Ah tidak bisa menjawab, berarti benar. Karena kalian telah melakukan hal buruk hari ini, maka kalian akan ikut saya.”

“Kemana, Bu?” tanya Abi penasaran.

Zea melirik Raka. Membuatnya makin gusar. Belum sempat menjawab, sebuah mobil hitam mengkilat menghampiri mereka.

“Mbak Zea! Kok di sini??” sapa Pak Tanoko–sopir Raka, yang juga merupakan tetangga Zea.

Zea langsung mengubah raut wajahnya, ia tersenyum, “Biasa, Pak. Ini lagi mau ngantar dua murid saya. Boleh pulang bareng, Pak?”

Raka dan Abi langsung menatap Zea kaget, apa maksud permintaannya itu? Pak Tanoko tersenyum lebar, hendak berkata tak keberatan. Tapi urung ia lakukan ketika melihat wajah tuan mudanya. Zea balas menatap Raka, masih dengan senyuman yang ia buat-buat.

“Raka, boleh kan?” tanya Zea sembari menepuk bahu Raka.

Raka mengepal tangannya, ingin menolak tapi tak bisa. Mau tidak mau, perlahan ia mengangguk pasrah. Zea tersenyum lebar, begitu pun dengan Pak Tanoko. Lelaki paruh baya itu kemudian membuka pintu untuk tuan mudanya, juga untuk Zea dan Abi.

Selama perjalanan, tak ada suara apapun antara Abi dan Raka, hanya perbincangan antara Zea dan Pak Tanoko.

“Pak, jam segini biasanya Aleksa di rumah gak ya?”

Pak Tanoko sontak mengangguk, dia bilang majikannya sudah pulang dari kantor miliknya. Zea tersenyum lebar. Namun Raka, hatinya tak karuan. Kenapa Zea malah menanyakan kakaknya? Apa mungkin dia mau ngadu?

Maka selama perjalanan, hati Raka dan Abi sama-sama tak bisa tenang. Mereka mengutuk diri mereka sendiri yang bertengkar di dekat sekolah sampai ketahuan guru satu itu.

Sesampainya di rumah Raka, Aleksa tampak santai menyiram bunga di taman. Meski rumah yang ia tempati begitu besar, tapi isinya hanya ada dirinya dan adiknya. Ayah dan Ibu Raka sedang ke luar kota untuk pekerjaan bisnis.

“Assalamu’alaikum gadis tengil!” sapa Zea pada kakak Raka.

Aleksa langsung tersenyum lebar ketika melihat teman karibnya setelah sekian lama tak berjumpa.

“Zea??? Astaga aku kangen banget!!!” ujar Aleksa, langsung memeluk Zea. Di zaman SMA, mereka dikenal sebagai dua sahabat yang saling suportif. Baik dalam mengerjakan PR, atau pun dalam beragam percobaan nakal mereka sebagai remaja.

Kehangatan pertemuan itu bukannya juga terasa bahagia bagi Raka, justru ia merasa makin takut. Ia ingin menghindar, tapi Zea memintanya tetap tinggal sebab ada yang ingin dibicarakan dengan Aleksa tentang Raka.

Lihat selengkapnya