Embun

Syifaanur Al Fitria
Chapter #2

Mengikis Kemalasan

Minggu, hari libur yang cerah di bulan penyambutan hujan. Banyak yang bilang, bulan berakhir -ber adalah masanya hujan menyapa bumi pertiwi. Dua minggu lalu, ia sempat turun, membuat Zea berlari kencang ketika jemurannya masih terpajang di teras kontrakan. Tapi setelah itu, langit terus terlihat cerah. Seakan memberi semangat tiada henti pada tiap penduduk Surabaya.

“Ze, mau olahraga?” sapa teman kontrakan jZea yang berjalan dengan rambut berantakan dan sisa iler di pipi. Matanya seakan tak kuat menatap pagi.

Zea tertawa, “Udah pakai baju olahraga gini masa masih ditanyain begitu sih, La…”

Perempuan bernama Lala itu hanya tersenyum kikuk, sedikit menertawakan dirinya sendiri. Zea hanya berdecak lirih, dan bergegas pergi dengan headset yang terpasang di telinganya.

Ini kebiasaan rutin tiap hari Minggu. Zea rajin lari pagi sembari mendengarkan lagu-lagu dengan harmoni yang sesuai preferensinya.

Saat ini, gadis yang berprofesi sebagai guru honorer itu mendapat tempat kontrakan di area perumahan, bersama teman-teman masa kuliahnya yang juga mendapat kerja di Surabaya. Meski di perumahan, biaya kontrakan Zea terbilang cukup murah karena rumah yang ditempati adalah milik bibi temannya.

Pagi ini, Zea memilih mengelilingi wilayah perumahan dengan jarak putar yang lebih jauh dari minggu sebelumnya. Senyum mengembang terukir indah ketika ia berhasil mencapai target.

“Air, Bu Ze…”

Seorang pemuda menjulurkan sebotol air ketika Zea beristirahat usai lari. Perempuan berjilbab coksu itu langsung menoleh ke arah si pemuda. Senyumnya mengembang.

“Terimakasih, Bi,” ujarnya sembari mengambil sebotol air itu.

Abi, remaja lelaki yang kemarin bertengkar dengan Raka, kini duduk di sebelah Zea. Lalu seorang pemuda yang datang dengan ngos-ngosan mengutuki Abi dengan wajah memerah, “Gila lo, haa… haaa.. Gue panggil kagak nyahut malah deketin cewek ukhti-ukhti di sini lo!” ujarnya dengan posisi rukuk, memegang lututnya yang terasa kram, keringatnya jatuh bagai aliran rintik hujan.

“Duduk dulu, Ka. Selonjoran…” ujar Zea yang menatap Raka lucu.

“Ngapain gue duduk di sebelah…..”

Raka sontak memundurkan langkah ketika menyadari bahwa cewek ukhti yang ia sebut tadi adalah guru Abi.

“Ma..maaf, Bu. Saya kira ibu… maksud saya…” Raka menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, ia tidak bisa berkata banyak, kepalang salah tingkah.

“Makanya lo kalau ngomong dipikir dulu!” Abi terkekeh, senang bukan main ketika melihat wajah Raka bak kepiting rebus.

Dari pada berlama-lama menyaksikan sikap dua remaja yang bisa berakhir perdebatan ini, akhirnya Zea memilih mengalihkan pembicaraan.

“Kalian jauh banget olahraga ke sini? Area perumahan Raka lebih besar lo padahal…” ujar Zea.

“Tau tuh si Abi, Bu! Dia malah ngajak ke tempat jauh begini!” adu Raka, seakan mendapat kesempatan emas untuk menjatuhkan Abi setelah tadi ia dibuat malu dengan tingkahnya sendiri.

Namun Abi justru memberi balasan yang membuat Raka lagi-lagi merasa malu.

Lihat selengkapnya