Embun

Syifaanur Al Fitria
Chapter #3

Kafe Rakhana

Usai shalat dhuha, Zea langsung memasak menu sederhana untuk dia jadikan bekal ketika bekerja paruh waktu di kafe Rakhana. Hitung-hitung, ini lebih hemat dari pada harus membeli menu di kafe tempatnya bekerja yang bisa terbilang mahal. Bagaimana tidak? Itu kafe tempat orang bergengsi. Jelas Zea merasa harganya tidak cukup ramah di kantongnya yang masih sering tipis.

Setibanya di kafe Rakhana, Zea memyapa pegawai lain dengan senyum merekah. Kafe ini buka jam 8 pagi. Shift Zea bekerja adalah sampai pukul 4 sore.

Zea menjadi barista cantik di sana. Ilmu yang ia dapat dari pelatihan barista selama dua bulan penuh saat baru lulus kuliah kini menjadi jembatan yang membuat dia menghasilkan uang.

Selama seminggu, Zea hanya bekerja tiga hari. Jumat, Sabtu, dan Minggu. Kalau Jumat dan Sabtu, dia mengisi shift pendek dari jam 6 sore sampai pukul 10 malam. Karena shiftnya lebih pendek, maka gaji yang Zea terima juga lebih sedikit daripada hari Minggu. Untungnya, kafe ini tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Zea sehingga ia bisa lebih cepat sampai rumah untuk istirahat.

“Pagi-pagi ketemu itik, terus disapa nelayan naik sampan. Selamat pagi Zea yang cantik, tidaklah kau rindu dengan abangmu yang tampan?”

Lelaki bertubuh gempal langsung menyapa Zea yang baru saja membuka pintu kafe. Wajahnya yang bulat begitu khas dengan kulit putihnya. Semua pegawai langsung bersorak “Huuuuuu!”. Pasalnya, lelaki itu tidak hanya menggoda Zea, tapi beberapa gadis lain juga ia beri puisi serupa.

Tapi begitulah dia, sikap itu justru menjadi sumber tawa bagi orang lain. Meski kadang candaan cacian teman-temannya begitu kasar, lelaki itu tak merasa sakit hati. Memang ia suka bercanda dengan orang lain. Ia suka menumbuhkan senyum di bibir orang lain.

“Hft, kalau bang tampannya Mas Pardi mah enggak…” jawab Zea lantang, membuat pegawai lain tertawa senang. Berbeda dengan lelaki yang dipanggil Pardi, dia menghembuskan napas berat, pura-pura merasa tersakiti.

Kring

Pintu kafe terbuka, mata Pardi langsung ceria ketika melihat Nindi datang. Dia lagi-lagi melontarkan pantun yang sama dengan Zea, hanya berganti nama saja. Tapi kali ini, reaksi Nindi berbeda. Pipinya langsung memerah. Jelas Pardi makin kesenangan membuat pantun cinta, merasa triknya berhasil untuk mendapat pasangan sejiwa.

“Yah… Mereka emang udah saling jatuh hati…” ujar pegawai lain yang hanya bisa geleng-geleng melihat drama pagi ini.

Zea hanya ikut terkekeh, dan langsung menuju meja barista untuk menyiapkan pembukaan pesanan.

“Nin, jangan lama-lama kasmarannya, kasihan noh di Zea sendirian..” ujar pegawai lain yang menggoda Nindi sebab tak henti-hentinya tersenyum sembari menatap Pardi.

Nindi langsung mengangguk, dan pamit kepada Pardi untuk bekerja. Lelaki gempal itu hanya mengangguk, sembari merapikan rambut klimisnya–merasa telah jadi orang paling keren sekafe Rakhana.

“MasyaAllah, Mbak Nindi pagi-pagi senyumnya udah kayak mentari nih,” goda Zea ketika Nindi sudah di meja barista.

Nindi malu-malu, “Hm, do'ain dong, Ze. Moga Mas Pardi lekas ke rumah aku…” ujarnya.

Zea langsung melotot, “Lah emang udah dekat, Mbak? Maksudku, dia udah nyatain rasa suka gitu?”

Lihat selengkapnya