Embun di Atas Daun Maple

Hadis Mevlana
Chapter #24

Saudara Perempuan Elisabet

“Jika yang kau maksudkan adalah Harun saudara Musa, maka seperti sudah kujelaskan tadi, bahwa ungkapan ‘saudara perempuan Harun’ untuk Maryam bukan dalam arti ‘saudara kandung’. Secara logika tak mungkin bisa Maryam, ibunda Nabi Isa, hidup sezaman dengan Nabi Harun dan Nabi Musa.”

“Oke, aku mengerti,” jawab Kiara.

“O iya, seingatku para ulama pun berbeda pendapat dalam hal ini? Apakah nama ‘Harun’ yang dikaitkan kepada Maryam itu Nabi Harun saudara Nabi Musa atau Harun lainnya? Hal ini dikarenakan kebiasaan menamakan anak-anak mereka dengan nama nabi atau nama orang shalih,” ucapku menambahkan, lalu kubacakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirimidzi melalui sahabat Muhgirah bin Syu'bah, bahwa saat beliau diutus oleh Nabi Saw menuju daerah Najran yang menganut agama Kristen. Sesampainya di sana, penduduk bertanya kepadanya.

Dari Muhgirah bin Syu'bah ra. berkata, 'Ketika aku tiba di Najran, penduduknya bertanya kepadaku, “Kalian membaca Quran, “Wahai saudara perempuan Harun”, padahal Musa hidup sebelum Isa selama sekian dan sekian tahun.” Ketika bertemu Rasulullah Saw aku tanyakan hal itu dan beliau menjawab, “Sesungguhnya mereka biasa menamakan anak mereka dengan nama nabi dan orang-orang shalih yang hidup sebelum mereka.”

“Dari hadits tersebut dapat kita ketahui, bahwa sosok Harun yang dinisbatkan sebagai saudara Maryam itu bukanlah Nabi Harun As, saudara Nabi Musa As. Hal itu dapat dimaklumi karena penafsiran tersebut bersumber langsung dari Rasulullah saw. Bukan sembarang mencocok-cocokan tanpa adanya referensi yang valid. Ini adalah tafsir bil ma’tsur[1] yang berstatus shahih. Maka, cukuplah berpegangan pada penafsiran beliau,” ucapku menjelaskan pajang lebar.

“Wah, ternyata pertanyaan itu sudah ribuan tahun lalu dijawab oleh Nabi,” ucap Fritz sambil melihat ke arahku.

Aku mengangguk pelan mengiyakan.

***

Sapaan kaumnya kepada Maryam Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina adalah bahasa satir. Secara halus mereka menuduh Maryam yang lahir dari keluarga terhormat telah melakukan perzinaan hingga melahirkan seorang bayi. Bahasa satir untuk menuduh Maryam sebagai pezina itu tidak hanya tercantum dalam Al-Quran, tapi juga terdapat kesejajaran ungkapan yang hampir mirip dalam Injil. Namun bedanya, jika dalam Al-Quran bahasa satir itu ditujukan untuk menuduh Maryam sebagai pezina, maka dalam Injil ditujukan kepada puteranya yang dianggap sebagai keturunan zina.Kesejajaran ungkapan ini tercatat pada ayat ke-41 dalam pasal ke-8, Injil Yohanes, di mana dalam suatu peristiwa terjadi dialog antara Yesus dengan orang-orang Yahudi. Saat itu orang-orang Yahudi menyindir Yesus dengan mengatakan: “Kami tidak dilahirkan dari zinah.”

“Clear kalau begitu, tuduhan tentang kesalahan sejarah dalam Al-Qur’an sebagaimana yang dituduhkan itu hanyalah mengulang tuduhan lama. Sudah pernah terjadi pada zaman Nabi dan Nabi sudah menjelaskannya.”

“Hmmm ... aneh saja rasanya menggunakan kata-kata itu dalam Al-Quran,” ucap Kiara.

Fritz mengerutkan dahinya seraya melihat ke arah Kiara.

“Iya mungkin terdengar aneh karena kita memang tidak terbiasa mendengar atau menggunakan bahasa Arab,” jawabku santai, “Begini Kiara, jadi di dalam Al-Quran, banyak ditemukan ayat yang menggunakan kata seperti itu. Misalnya, Nabi Luth menyebut kaum wanitanya dengan sebutan puteri-puteriku. Selain itu, Nabi Hud, Saleh dan Syu'aib pun menyebut kaumnya dengan sebutan ‘saudara’. Bukankah di dalam Alkitab juga ada ungkapan atau kata-kata seperti itu?”

“Maksudmu Fyan?” tanya Kiara.

“Kamu tahu kan nama istri Zakaria, ibunda dari Yohanes Pembaptis?”

“Iya, aku tahu. Elisabet,” jawab Kiara mantap.

“Bukankah dalam Injil Lukas disebutkan bahwa Elisabet adalah putri Harun? Dan Yesus dalam Alkitab disebutkan sebagai anak Daud? Lantas apakah itu berarti secara harfiah bahwa Elisabet itu merupakan putri kandung Harun dan Yesus adalah putra kandung Daud?”

Aku mengingat kembali beberapa ayat yang pernah kubaca terkait hal itu.

There was in the days of Herod, the king of Judea, a certain priest named Zachary, of the course of Abia; and his wife was of the daughters of Aaron, and her name Elizabeth.[2]

And the multitudes that went before and that followed, cried, saying: Hosanna to the son of David: Blessed is he that cometh in the name of the Lord: Hosanna in the highest.[3]

“Iya, tentu saja tidak, Fyan,” jawab Kiara.

“Setahuku, dalam gaya bahasa Semit, bukanlah hal yang aneh ketika kita menjumpai penyebutan kata ‘saudara’ tapi bukan dalam konteks saudara kandung,” ucap Fritz menambahkan.

“Betul Fritz, misalnya seperti hadist yang pernah kudengar tentang Rasulullah Saw yang pernah menyatakan kepada Shafiyyah, istrinya. Bahwa ayahnya adalah Nabi Harun dan pamannya adalah Nabi Musa. Tentunya konteks dalam hal ini adalah penelusuran pemahaman dari sisi jalur silsilah. Sebab, menurut garis keturunannya, istri Nabi yang bernama Shafiyyah itu berasal dari keturunan Nabi Harun.”

“Hmmm aku juga pernah baca dalam Alkitab, bahwa Musa mengatakan kepada kaumnya bahwa akan ada seorang nabi yang akan dibangkitkan dari antara saudara mereka, setelah kutanyakan kepada seseorang, kudapati jawaban bahwa Nabi dalam ayat di atas itu bukanlah sesungguhnya saudaranya Musa dalam arti satu Bapak,” ucap Kiara.

“Kalau begitu berarti cocok dengan apa yang kujelaskan tadi. Jika Maryam kau kaitkan dengan Harun saudara Musa, bukanlah sesungguhnya saudaranya Harun dalam arti satu bapak, melainkan saudara dalam konteks jalur silsilah. Dan hal ini bukanlah hal yang aneh dalam gaya bahasa Semit,” ucapku menegaskan.

“Ah, aku jadi geli saja Fyan. Lucu mendengar orang Kristen mengkritik ayat Al-Quran yang menyatakan ‘Maryam saudara perempuan Harun’ adalah suatu kesalahan Al-Quran dalam hal sejarah, sementara ada juga ayat dalam Alkitab yang menyebutkan Elisabet sebagai anak perempuan Harun.”

“Tidak semuanya begitu, Fritz. Mungkin jika ada yang berpendapat demikian karena memang ketidaktahuan dan hanya mendapat informasi secara sepihak melalui pemimpin rohani mereka, sehingga tidak menilai secara objektif. Harusnya jika ingin menanyakan tentang Al-Quran ya harus dengan yang mengerti Al-Quran, bukan kepada yang lain. Misalnya dengan menanyakan langsung kepada seorang ustadz atau guru-guru agama Islam atau paling tidak mencari jawabannya melalui referensi yang valid. Misalanya di literatur Islam yang dipercaya mayoritas muslim,” ucapku.

“Harusnya seperti itu, kita tidak bisa menilai sesuatu secara subjektif,” ucap Felix.

“Tuuuttt … tuuutttt...,” tiba-tiba handphone Kiara berbunyi.

“Sebentar…,” ucapnya memotong pembicaraan.

“Siapa, Ra?” tanya Felix.

Lihat selengkapnya