Embun di Atas Daun Maple

Hadis Mevlana
Chapter #32

Sebuah Puisi Tentang Cinta

Paman Kiara kembali lagi berbaur dengan para tamu undangan usai memberikan penjelasan padaku.

"Pamanku itu memang senang berdiskusi, mungkin bakatnya itu menurun padaku. Dan mungkin karena aku juga pernah lama tinggal bersama beliau saat kuliah di Prancis dan aku sering melihat Paman Moses diskusi lintas agama."

"Tapi setahuku orang-orang Orthodox jarang bahkan hampir tidak pernah mau melayani diskusi lintas agama kan? Maksudku mereka fokus dengan keyakinan dan mendalami ajaran agamanya."

"Benar. orang-orang Orthodox memang kental dengan budaya hidup spritual mistikisme rohani. Dan orang-orang Orthodox pun bukan termasuk oratoris. Berbeda halnya dengan Protestanisme, mereka banyak oratoris. Intinya orang-orang Orthodox itu harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara memperbaiki spiritual mereka. Bukannya tidak diperbolehkan berdiskusi, hanya saja tidak ada gunanya. Dua keyakinan berbeda itu bukan untuk didiskusikan karena memang tidak bisa dipersatukan. Cukuplah dengan saling menghargai antar pemeluk agama. Berbeda dengan yang sering kita lakukan. Aku selayaknya penanya dan kau penjawabnya. Selebihnya tidak ada niat lain kecuali ingin menambah wawasan semata dan pada akhirnya aku bisa menghargai pendapat dan keyakinan orang yang berseberangan denganku."

"Loh tapi Paman Moses? Dia ...."

"Ooo ... Paman Moses, beliau bukan penganut Orthodox. Beliau Protestan. Dan Paman Moses sering ditegur orang tuaku karena seolah telah melakukan brain wash padaku untuk mengikuti sepertinya menjadi penganut protestan hehehe ...."

"Ooo aku kira keluarga besar kalian semuanya penganut Orthodox."

"Tidak. Bahkan pamanku yang lain ada yang Muslim."

"O ya?"

"Keluarga kami ini termasuk keluarga demokratis beragama."

"Aku juga sering diprotes karena sering kritis dengan agama lain. Dianggap terlalu mengurusi keyakinan orang lain dan seolah melupakan hakikat bagaimana harusnya orang Orthodox itu hidup yang berdasar pada Kitab Suci dan tradisi para rasul dan orang-orang suci."

"Tentu saja mereka akan protes, karena caramu di luar kelaziman umat Orthodox pada umumnya."

"Paman ...."

Tiba-tiba Kiara berteriak sambil melambaikan tangan kepada seseorang yang melintas di hadapan kami.

"Hai Kiara ... wah sudah punya pacar sekarang? Kok Paman tidak diberitahu."

"Ah Paman bisa saja, ini temanku, kenalkan," jawab Kiara.

"Sofyan …," ucapku sambil mengulurkan tangan dan ia pun menjabat tanganku.

"Gamaliel," jawabnya.

"Kalau tidak salah Paman yang waktu itu mencoba melerai pemuda yang berkelahi di dalam bis kan?"

"Kau sudah kenal juga dengan Pamanku yang ini, Fyan?"

"Paman pernah satu bis dengannya. Dan Sofyan yang waktu itu yang menolong membersihkan luka dan memperban luka paman."

"Ooo ... ternyata dunia begitu sempit ya hehehe...."

"O iya Kiara, boleh Paman berbicara sebentar denganmu?"

"Tentu saja."

"Paman tunggu di sana ya," ucap Paman Gamaliel menunjuk tempat makan khusus dipersiapkan untuk keluarga dan tamu VIP.

"Saya permisi, Sofyan. Senang bertemu denganmu."

"Sama-sama Paman."

Paman Gamaliel berlalu dari hadapan kami.

"Nah Paman Gamaliel itu yang selalu mengkritik sikapku yang terkesan jauh dari kehidupan Orthodox. Aku tinggal sebentar ya, Fyan."

"Ok."

“Nanti kalau kamu mau makan makanan yang selain ada di prasmanan, kamu bisa panggil saja pelayannya.”

“O iya, thank you Kiara.”

Kiara berlalu dari hadapannku.

***

Aku masih duduk di sini. Aku mencari-cari teman-temanku yang lain. Kulihat Felix dan Eva sedang mengambil makanan di salah satu prasmanan. Sementara Zahra dan Olivia sedang menikmati makanannya di meja yang tak jauh dariku.

“Fritz mana?” tanyaku dalam hati.

Mataku menjelajah ke setiap sudut ballroom, tapi masih belum kutemukan sosoknya.

“Ahh kau Kiara, bagaimana hatiku tak luluh melihat senyum manis seperti itu,” ucap Fritz tiba-tiba lalu duduk di sebelahku.

“Astagfirullah ... bikin orang kaget saja kau Fritz.”

“Masyaallah ... pemandangan yang luar biasa indah.”

“Hehehe dasar tukang gombal.”

“Cantik. Mungkin Tuhan membuatnya langsung dengan tangan-Nya. Seperti tanpa cacat di antara ciptaan-Nya, sempurna,” ucap Fritz.

“Heeeiiii bangun ... bangun … jangan mengigau dulu ... masih sore begini ...,” ucapku.

 “Seandainya Nabi Sulaiman bertemu denganmu mungkin dia lebih tertarik memperistrimu dibanding Ratu Syeba,” ucap Fritz.

“Weh weh weh ... mulai ngawur kau Fritz. Pake bawa-bawa Nabi Sulaiman segala ... hati-hati ... sebagai muslim kita tidak boleh berandai-andai. Sudah ... sudah ... istighfar ... istighfar ....” ucapku.

“Ah kau Fyan, nggak boleh lihat teman senang saja. Aku mau ambil jus di sana, kau mau?”

“Nanti saja, terima kasih.”

Fritz beranjak menuju salah satu meja prasmanan. Tak berapa lama, seorang pelayan menghampiriku.

“Ada yang ingin dipesan pak?” tanya seorang pelayan.

Aku bingung harus memesan apa. Sang pelayan menyodorkan buku menunya. Lalu, kulihat beberapa menu di dalamnya.

“Cordonbleu and lemon tea,” pintaku ke pelayan itu.

“Ok ... wait a moment sir.”

Lihat selengkapnya