Aku baru saja usai berwudhu. Dari kamar mandi tadi, aku sudah mendengar percakapan Olivia dan Kiara tentang larangan wanita menstruasi untuk shalat.
“Yaa memang. Tidak boleh! Betul kan, Fyan?” ucap Olivia
Olivia terlihat gelagapan menjawab. Dia meminta bantuanku untuk menjawaban pertanyaan Kiara itu. Tampak sekali wajahnya Olivia tegang sambil sambil menaikkan kedua alisnya .
“Betul sekali Olivia. Dalam syariat Islam telah diatur semua tentang bagaimana cara beribadah termasuk memberi keringanan kepada wanita yang sedang menstruasi untuk tidak shalat dan puasa.”
“Tapi mengapa Allah menajiskannya?” tanya Kiara.
“O bukan begitu yang dimaksudkan, aku harus sedikit meluruskan pernyataanmu Kiara. Dalam Islam tidak pernah ada ajaran bahwa wanita yang sedang menstruasi itu najis. Yang najis itu adalah darah menstruasinya.”
“Lalu mengapa Allah melarang wanita yang sedang menstruasi untuk shalat dan berpuasa?” tanya Kiara.
“Untuk ’mengapa’ nya aku tidak mengetahuinya, karena tidak ada penjelasana tentang ’mengapa’ nya itu. Akan tetapi, yang perlu kita ketahui bahwa setiap perintah dan larangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala itu pasti ada hikmah di dalamnya,” ucapku.
“Jika wanita yang sedang menstruasi tidak diperbolehkan shalat dan puasa, bukankah berarti Tuhan mendeskriminasi wanita untuk mendapatkan pahala?” tanya Kiara.
“Tentu tidak. Meskipun dalam keadaan menstruasi insyaallah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap akan memberikan ganjaran pahala yang sama seperti di saat seorang wanita tidak menstruasi.”
“Bagaimana bisa?” heran Olivia sambil mengerutkan keningnya.
“Aku pernah mendengar seorang ustadz mengatakan bahwa seorang wanita yang dalam keadaan menstruasi itu dikategorikan sebagai orang yang sakit ... dan bagi orang yang sakit, maka dia akan tetap mendapatkan pahala ibadah yang rutin dia lakukan.”
“O begitu, aku baru tahu,” ucap Olivia seraya mengangguk.
“Tentunya itu berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang untuk melakukannya. Padahal dia sudah mempunyai niat yang kuat untuk melakukan amalan tersebut jika tidak ada yang menghalangi,” lanjutku.
Aku teringat dengan salah satu hadits yang menyatakan tentang itu. Tentang pahala yang terus didapatkan meski tidak dikerjakan karena ada uzur, yang menyebabkan seseorang mesti meninggalkan ibadah yang rutin dilakukannya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imamBukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersabda: “Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.”
Dalam hadis yang lain pun menyatakan hal serupa dengan itu. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan pada malaikat yang bertugas mencatat amalan, “Tulislah padanya semisal yang ia amalkan rutin jika ia tidak terikat sampai Aku melepasnya atau sampai Aku mencabut nyawanya.”
Kulihat tidak hanya Olivia saja yang mengangguk mendengar penjelasanku. Kiara pun demikian.
“Jadi, Tuhan tidak pernah mendeskriminasi wanita untuk mendapatkan pahala kok,” ucapku menjawab pertanyaan Kiara tadi, “Mereka hanya terlarang untuk melakukan beberapa ibadah saja, seperti shalat, puasa, thowaf, itikaf, menyentuh mushaf, berhubungan inti. Sementara masih banyak aktifitas lainnya yang bernilai ibadah. Berzikir misalnya.”