Kubuka jendela kamar. Di ujung sana fajar mulai merangkak naik. Kuhirup udara segar pagi hari, sesegar embun membasah di daun-daun maple yang berdiri tegak di tepi jalan.
Felix sudah bangun dan dia masih di kamar mandi. Sambil menunggu giliran mandi, aku menelepon Fritz. Entah sekarang dia ada di mana. Tak biasanya pagi-pagi sudah menghilang. Biasanya dia selalu mengabariku jika keluar apartemen, tapi tidak untuk kali ini.
Alhamdulillah telepon langsung tersambung.
“Assalamu’alaikum ... Fritz, kau di mana?”
“Wa’alaikum salam ... di rumah sakit.”
“Haah siapa yang sakit?”
“Pamanku, maaf aku tak sempat kasih kabar, aku dapat kabar dari sepupuku dini hari tadi.”
“Syafahullah[1]. Sakit apa Fritz?” tanyaku cemas.
“Penyempitan pembuluh darah. Mohon doanya, Fyan.”
“Insyaallah, semoga pamanmu lekas sembuh.”
“Amin.”
“O iya , apartemenmu nggak ke kunci tuh.”
“Astagfirullah, kelupaan, maklum tadi terburu-buru. Titip kunci ke Olivia ya Fyan. Siang ini Olivia mau ke rumah sakit.”
“Oke nanti aku sampaikan.”
“Terima kasih, Fyan.”
“Sama-sama ... Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” jawab Fritz sekaligus mengakhiri pembicaraan kami.
***
Lima belas menit berlalu. Aku sudah selesai mandi. Baju koko yang tadi kupakai shalat subuh kukaitkan dengan gantungan baju dan kusimpan kembali ke dalam lemari pakaian.
Felix duduk di tempat belajarnya. Aku melangkah menuju meja belajarku yang bersebelahan dengan meja belajar Felix. Kutarik kursi pelan-pelan agar tak mengganggu Felix yang sedang khusyu berdoa dengan rosario berbutir batu berwarna coklat di tangannya. Matanya terpejam. Mulutnya berucap doa. Alkitabnya masih terbuka di atas meja belajarnya.
Kuambil Al-Qur’anku. Kubuka lalu kubaca dengan suara sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar agar tak mengganggu Felix yang sedang berdoa di sebelahku. Pemandangan yang kontras dan sekaligus mencerminkan sikap toleransi.
Dulu aku sangat malas membaca Al-Qur’an. Mungkin seminggu sekali di setiap malam Jumat. Baru dua tahun terakhir ini aku sudah membiasakan membacanya usai shalat minimal satu halaman.
Awalnya karena rasa maluku pada Kiara yang sering kulihat membawa Alkitab ketika ke kampus. Suatu hari pernah kutanyakan kepada Kiara, apakah kitab suci yang sering di bawa ke kampus selalu dibacanya, saat itu Kiara menjawab bahwa ia memang sudah terbiasa menyempatkan diri untuk membaca Alkitab setiap harinya. Terutama dilakukan setiap bangun tidur, ia menyempatkan membaca setidaknya satu perikop Alkitab dan itu sudah dilakukannya sejak duduk di bangku sekolah menengah.
“Membaca kitab suci bukan bacaan hanya ketika sedang gelisah atau kesusahan, tapi dilakukan layaknya manusia makan untuk memberikan nutrisi bagi fisiknya,” ucap Kiara waktu itu.
Sejak saat itu aku selalu meminta agar Allah selalu menjaga ke-konsisten-an hatiku untuk melafalkan tiap bait-bait firman-Nya.
***
Usai kubaca satu halaman Al-Qur’an lalu kubaca juga terjemahannya. Tak berapa lama, Felix menyudahi doanya. Tangan kanannya membentuk formasi salib dengan berurutan menempelkannya di dahi, dada, bahu kiri serta bahu kanan sambil mengucapkan:
“Atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Amin.”
“Kau tidak telat subuh, Fyan?” tanya Felix.
“Hampir saja, untung tadi ada Mario. Ia mengantarkanku dengan sepeda sampai ke masjid. Alhamdulillah aku masih bisa mengikuti imam dari rakaat pertama.”
“O iya honor tulisanku sudah cair,” ucap Felix dengan wajah cerah.
“Alhamdulillah, waah asik nih.”
Felix mengangkat kedua alisnya dua kali tanda senang.
“Honor tulisanku, yang tayang tiga hari lalu di media online, seperti agak telat. Katanya sih ada sedikit kendala di administrasi.”
“Tenang, sudah biasa kok begitu,” jawab Felix yang juga pernah mengalami hal serupa denganku, “yang penting sekarang aku jadi bisa balikin uangmu yang pernah kupinjam bulan lalu.”
“Memangnya kau pernah pinjam uang padaku? Kapan?” tanyaku heran.
“Kau lupa ya? Ya sudah tidak jadi ya asyikkkk hehehe.”
“Hmmmm aku lupa.”