Raut wajah Fritz tampak kebingungan. Dahinya berkerut usai mendengar ucapan Felix dan Kiara tentang ketidaktegasan Al-Qur’an dalam menyebutkan nama putra Nabi Ibrahim yang akan dipersembahkan sebagai kurban. Sorot mata Fritz tepat tertuju ke arahku. Aku tahu, dia pasti sudah tidak sabar mendengar penjelasanku atas kebingungan yang baru saja dialaminya.
“Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ibnu Dzabihain.”
“Maksudnya?” tanya Fritz tampak bingung dengan istilah Ibnu Dzabihain, yang baru saja kukatakan.
“Sebab, Nabi berasal dari keturunan dua orang yang berencana akan disembelih, yaitu Nabi Ismail ‘alaihi salam dan ayah beliau, Abdullah.”
Tentang Ibnu Dzabihain itu, aku pernah membacanya dalam sirah nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, di mana beliau ternyata juga merujuk pada sirah karya Ibnu Hisyam: “Aku adalah anak dua yang akan disembelih.” Nasab Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Nabi Ismail, disebutkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim[1], Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah memilih bani Kinanah di kalangan keturunan Ismail. Lalu Allah memilih Quraisy di kalangan bani Kinanah. Lalu Allah memilih Bani Hasyim dari kalangan Quraisy. Dan Allah memilihku dari kalangan bani Hasyim.
“Abdullah, ayah nabi juga pernah akan disembelih?” tanya Fritz.
Aku mengangguk. Lalu, sekilas aku menceritakan tentang latar belakang Abdullah yang juga pernah terancam mau disembelih. Hal ini dikarenakan nazar Abdul Muttalib, kakek sang nabi. Sang kakek pernah bersumpah dengan menyatakan bahwa jika dia memiliki anak, sepuluh diantaranya laki-laki maka dia akan menyembelih salah satunya. Abdul Muththalib, bersumpah seperti itu ketika menemukan kembali dan menggali sumur Zamzam.
Abdul Muththalib berani bersumpah demikian, sebab saat pada saat itu dia baru memiliki satu orang putra, yaitu Al-Harits. Sementara, dia berangan-angan ingin mempunyai sepuluh anak laki-laki. Akhirnya, keturunan Abdul Muthalib pun makin bertambah. Allah mengabulkan keinginannya untuk mempunyai sepuluh anak laki-laki. Tentu saja Abdul Muthalib mesti memenuhi nazar dari apa yang telah diucapkannya.
Dari sepuluh anak laki-laki yang dimilikinya, dia harus memilih satu di antaranya. Abdul Muthalib pun mengadakan undi untuk menentukan siapakah dari sepuluh anaknya itu yang akan disembelih. Akhirnya, terpilih nama Abdullah dari hasil undi yang dilakukan. Hati Abdul Muthalib amat sedih karenanya, sebab Abdullah adalah anak yang sangat disayanginya. Namun, dia harus menjalankan nazarnya itu.
Sambil membawa parang, Abdul Muthalib membawa Abdullah menuju Ka’bah untuk disembelih. Mengetahui hal itu, orang-orang Quraisy, terutama paman-pamannya dari pihak ibu dan saudaranya, Abi Thalib, berusaha mencegahnya. Mereka mengusulkan agar Abdul Muthalib menemui seorang dukun perempuan untuk dimintakan jalan keluar terkait nazarnya itu. Akhirnya, Abdul Muthalib mengundi Abdullah dengan sepuluh ekor unta. Jika yang keluar nama Abdullah, maka dia harus menggantinya dengan sepuluh ekor unta sebagaimana saran dari dukun perempuan itu.
Undi yang pertama, keluar nama Abdullah. Dia pun mengulang undi kembali. Setiap undi yang dilakukan, selalu nama Abdullah yang keluar. Hingga genap seratus ekor unta sebagai pengganti nama Abdullah yang keluar saat diundi, barulah setelah itu keluar nama unta. Akhirnya, Abdul Muthalib urung untuk menyembelih Abdullah. Dia menggantinya dengan seratus ekor unta.
***
Fritz mengangguk mendengar ceritaku itu. Lalu, mengomentari pernyataan Kiara tentang ketidak tegasan Al-Qur’an dalam menyebut sosok putra Nabi Ibrahim ’alaihi salam yang akan disembelih.