Wahai Maryam
Aku heran melihat manusia mempertanyakan
tentang siapa gerangan putramu
Hingga kami harus bersimbah darah
karena meributkan tentangnya
Wahai Bunda
Sampaikan salam kami, umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kepada belahan jiwamu
Seorang putra yang tercipta dengan kalimat-Nya,
Bahwa kami sangat menghormatinya,
Beriman dengan ke-al-Masih-annya,
Tak ada ragu bagi kami untuk mengakui
Bahwa kau mengandungnya atas Ruhul Qudus
dari Rabbul 'Alamin
***
Ibarat aliran sungai Nil, bait-bait puisi itu menghanyutkan ingatan, kemudian terdampar pada sebuah zaman suci. Zaman di mana seorang wanita terbaik mengukir sejarah peradaban manusia. Maryam namanya. Sosok wanita yang telah lahir dari Rahimnya sosok manusia mulia. Sosok manusia, utusan Tuhan yang memiliki mukjizat berbicara kala masih di dalam buaian sang ibunda. Ini untuk kesekian kalinya puisi ini kubaca lagi. Puisi tentang wanita terbaik di zamannya, Maryam. Puisi itu juga yang membawaku mengenal dan bersahabat dengan sosok wanita tangguh dan baik budi. Bahkan dia pun sangat mengagumi sosok Bunda Maryam wanita suci yang melahirkan sosok manusia pilihan Tuhan. Kiara, namanya.
Aku masih duduk di hamparan rumput di taman University of Saskatchewan. Udara mengalir pelan. Menciumi wajahku dengan kesejukan. Aku baca puisi itu sekali lagi, dan ingatanku segera berjalan-jalan di tepian kenangan saat pertama kali bertemu dengannya. Dua tahun lalu di Ottawa, tepatnya saat perayaan tahunan Canadian Tullip Festival. Saat itu ia menghampiriku dan duduk di sebelahku. Lalu, dia menyapaku. Menatapku dan berkata,“Nice performance,” ucapnya tiba-tiba.
Aku meliriknya sebentar, “Thank you,” jawabku singkat kemudian mengalihkan pandanga ke arah lain. Lalu meneguk air mineral untuk memulihkan kondisi usai mengisi acara di panggung utama Canadian Tullip Festival. Tubuhku terasa lebih segar.
Dari sudut mata aku bisa mengetahui kalau kau masih menatapku. Mungkin kau juga tersenyum, entah kenapa. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir apa adanya darinya. Namun, dariku jawaban begitu gagap. Singkat dengan nada kesal. Mungkin, karena aku sedang lelah usai membawakan beberapa lagu tampil di panggung utama bersama mahasiswa dan masyarakat Indonesia lainnya dalam kelompok paduan suara Swara Nusantara.
“Aku suka penampilanmu yang terakhir.”
“Terima kasih.”
“Suaramu bagus.”
“Ah biasa saja. Pengiringku yang hebat. Mereka membuat pertunjukan tadi menjadi istimewa,” jawabku memuji pengisi acara.
Gadis yang membiarkan rambut coklatnya terurai panjang sebahu itu terus memujiku. Dari perawakannya, sepertinya dia bukan orang Asia. Namun, aku merasa ia sangat menyukai kebudayaan negeriku.
Di tangannya kulihat beberapa barang belanjaan suvenir khas Indonesia. Sekilas kulihat kalung khas Dayak menghiasi lehernya. Beberapa gelang ukiran khas Bali melingkar di pergelangan tangan kanannya. Dan kulihat anting-anting mutiara khas Lombok menjuntai di telinganya.
“Aku baru pertama kali mendengarkan lagu yang kau bawakan tadi. Boleh kutahu judul lagu yang kau bawakan di penampilanmu yang terakhir tadi?”
“Ilir-ilir,” jawabku singkat.
“Aku tak mengerti artinya, tapi aku suka nadanya. Lagu asal daerahmu?” kau semakin antusias.
“Bukan, itu lagu dari Jawa Tengah.”
“Ooo, kalau kau berasal dari daerah mana?”
“Teluk Kuantan, Riau.”
Aku sangat bangga dan merasa terhormat ketika dipercaya untuk menyanyikan lagu ilir-ilir dengan diiiringi permainan alat musik khas tradisional, seperti angklung dan rebana oleh Staff Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Hampir dua minggu penuh aku belajar logat Jawa dan mendalami maknanya agar mampu memberikan hasil terbaik.
Aku senang, penampilan kami dapat menghibur pengunjung yang ada di sana. Dan yang makin membuat penonton terpukau, saat itu, tembang yang konon diciptakan Kanjeng Sunan Kalijaga itu kunyanyikan dengan versi berbeda. Diiringi permainan harpa yang dibawakan dengan apik oleh Maya Hasan, seniman Indonesia yang sangat terkenal dengan petikan harpanya.
Hebatnya lagi, permainan harpa saat itu tidak hanya dimainkan sendiri oleh Maya Hasan, tapi juga berkolaborasi dengan beberapa pemain harpa kelas dunia lainnya seperti Hiroko Saito dari Jepang, Kellie Marie Cousineau dari Amerika Serikat, Lizary Rodrigues dari Puerto Rico, serta seniman yang lahir di Kanada, Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University.
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar
Bocah angon-bocah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo seba mengko sore
Mumpung padhang rembulane