“Masih ingatkah kau saat awal kita jumpa? Di waktu tulip merekah dan warnanya menyejukkan mata?” ucapku dalam hati.
Dites-moi
Pourquoi
La vie est belle?
Dites-moi
Pourquoi
La vie est gai?
Aku masih duduk di hamparan rumput hijau ini saat mendengar tembang Dites-Moi yang dinyanyikan begitu merdu. Aku menarik napas dalam, meresapi setiap bait lagunya. Kemudian terasa sedikit menyesakkan, padahal udara di sini masih bersih. Rumput hijau sedikit membuat pandangan lebih segar.
“Pasti dia. Aku hafal sekali suaranya,” tebakku dalam hati.
Dites-Moi, lagu yang liriknya ditulis oleh Oscar Hammerstein II itu adalah salah satu lagu kesukaannya. Lagu yang dipakai dalam sebuah drama musik terkenal di Broadway berjudul South Pacific, dinyanyikan dengan lafal sempurna, maklum saja ia terbiasa berbahasa Prancis. Ia telah menghabiskan S1-nya di Universitas Sorbon dan menjadi salah satu lulusan tebaik.
Dari suaranya aku yakin dia tak jauh dari tempatku duduk saat ini. Kulempar pandangan ke tiap sudut halaman Universitas Saskatchewan. Akhirnya, mataku tertuju pada sosok yang berdiri tak jauh di depanku.
Tak mau kalah dengannya, kulantunkan lanjutan lirik yang ditulis oleh Oscar Hammerstein II itu, meski dengan lafal tak begitu mahir.
Dites-moi
Pourquoi,
Chère mad’moiselle,“
Est-ce que
Parce que
Vous m’aimez?
“Wow ... masih ingat saja kau Fyan lagu ini,” ucap Kiara dengan Bahasa Indonesia yang sangat fasih.
“Bagaimana ... betulkan caraku menyanyikannya?”
“Yaa ... bolehlah,” jawab Kiara tersenyum.
Perlahan Kiara mendekat. Dia tak sendiri. Ada Eva bersamanya, anak seorang pengusaha properti di Jakarta, teman satu apartemennya. Namun, kali ini kurang satu orang, Felix, teman satu apartemenku. Mahasiswa keturunan Tionghoa itu satu kampus denganku di Fakultas Ekonomi, yang hampir selalu ada bersama mereka. Sampai-sampai aku menjulukinya bodyguard.
“Bodyguard kalian mana?” tanyaku.
“Ke perpustakaan,” jawab Eva.
“Begitu, kupikir kalian tak bisa dipisahkan sedetik pun."
Lalu, mereka duduk bersebelahan denganku.
Kampus yang dirancang klasik dengan arsitektur greystone menghadap ke pusat kota Saskatoon ini membuatku jatuh hati saat hari pertama menginjakkan kaki di sini. Pohon-pohon elm yang menjulang megah di sini menjadikannya salah satu universitas yang indah di Kanada, tambah lagi dengan pemandangan sungai selatan Saskatchewan yang begitu memesona.
“Qu’est-ce que tu fais ici?[1]” tanya Kiara padaku, “ngintip orang pacaran ya …, hayooo ngaku? Hehehe.”