Embun di Atas Daun Maple

Hadis Mevlana
Chapter #4

Mawar Putih

Aku menatap putihnya langit-langit kamar. Kenangan demi kenangan dari mulai kepergianku hingga kini masih tersusun rapi dan akan menjadi kenangan yang aku ceritakan pada anak-anakku nanti. Kutarik napas dalam. Aku bersyukur mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Dari beberapa penawaran beasiswa S2 ke luar negeri, sengaja kupilih beasiswa dari Saskatchewan Foundation. Beasiswa dari Saskatchewan Foundation sangat membantuku dan teman-teman. Kami tak mengeluarkan uang sepeser pun untuk kuliah di sini. Semuanya sudah ditanggung yayasan. Termasuk uang saku yang cukup lumayan. Jika dikonversi dalam rupiah, paling tidak aku mendapat uang sekitar enam juta rupiah perbulan.

Namun, walaupun semua kebutuhan hidupku sudah ditanggung, bahkan masih ada sisa uang saku untuk ditabung, aku tak ingin hanya berdiam saja. Di sini aku juga mengajar private yang biasa kulakukan seminggu sekali, tepatnya setiap Jumat ba’da Maghrib. Aku menjadi nativate speaker Bahasa Indonesia untuk beberapa teman dari negara lain yang tinggal satu gedung apartemen denganku. Biasanya kami lakukan di tempat Fritz, Mahasiswa Muslim jurusan Sastra asli Jerman, di apartemennya di lantai lima. Dari mengajar private inilah aku mendapatkan uang tambahan. Lumayan, bayaran dari mengajar private ini bisa menambah pemasukan untuk membiayai hidup keluargaku di kampung. Sungguh aku sangat bersyukur. Namun tetap saja, kerinduan pada Emak dan Aini tidak akan pernah tercukupi hanya dengan mengirimkan uang. Kerinduan hanya bisa digenapi dengan pelukan.

Ini adalah tahun kedua aku hidup jauh dari tempat kelahiranku. Meninggalkan dua orang yang sangat kusayangi, Emak dan ‘Aini. Terakhir kujumpai mereka saat lebaran tahun lalu. Sayangnya sampai saat ini belum sempat kujumpai mereka, karena terhambat biaya. Sedih rasanya saat kukabarkan pada Emak dan 'Aini karena tak bisa pulang. Seharusnya lebaran tahun ini aku berkumpul bersama mereka, namun apa mau dikata, takdir-Nya berbicara lain. Tiga hari menjelang hari H, uang tiket pesawat yang telah kusiapkan untuk pulang ke Teluk Kuantan sudah tidak menjadi rezekiku lagi. Aku dirampok sepulang kuliah menuju apartemenku.

Alhamdulillah, laptop dan handphone andalanku masih utuh. Dan bersyukurnya uang lebaran untuk Emak sudah kukirimkan beberapa hari sebelumnya. Jumlahnya mungkin tak seberapa, tapi Alhamdulillah uang tersebut dapat digunakan Emak untuk membeli mesin jahit baru. Mesin jahit yang menjadi ikhtiar Emak untuk menopang hidup keluarga, selain juga berpenghasilan dari warung kecil di depan rumah.

Untuk akhir semester perkuliahan ini, tak sabar rasanya ingin cepat kutuntaskan. Tak sabar rasanya ingin segera melerai rindu dalam peluk Emak dan canda adikku, ‘Aini.

***

Jumat, 05 April 2013, 08:45 pm.

Aku kembali ke apartemen usai shalat Maghrib di masjid yang terletak di The Islamic Centre Saskatoon, tak jauh dari Grosvenor Park. Seperti biasa, Jumat adalah jadwalku mengajar private. Dengan kaos warna putih dipadu dengan celana jeans, aku sudah siap mengajar hari ini. Kulihat Felix masih bersiap. Merapikan rambutnya yang bergaya ala tintin. Ini sudah ke empat kalinya dia mengganti gaya rambut. Tahun pertama rambutnya sempat panjang sebahu, berikutnya di gimbal, sempat juga dicepak. Sementara aku sejak SMA masih setia dengan gaya rambut yang sama. Rambut lurusku dipotong rapi dan di sisir belah pinggir.

“Sudah selesai belum Fel, sebentar lagi jam sembilan malam,” ucapku sambil melihat jam tangan warna hitam melingkar di pergelangan tangan kiri, “jangan sampai telat.”

“Ok, aku sudah siap,” Felix menyampirkan tas di bahunya. Kemudian berjalan mendahuluiku. Segera aku mengikutinya. Tak lupa menutup pintu kamar.

“Ngajar Fyan...,” ucap Mario pemuda seumuranku, petugas kebersihan di gedung apartemen ini. Ia berdiri tak jauh di depan kamar kami sambil membawa perlengkapan alat kebersihan yang biasa dipakainya.

“Iya, seperti biasa...,” jawabku dengan senyuman.

“Tumben baru jalan jam segini? Nggak terlambat?”

“Nggak juga. Soalnya Fritz tadi SMS, katanya agak telat sampai di apartemennya karena ada kegiatan di kampus dan meminta supaya waktu belajarnya diundur.” Mendadak mataku menuju ke satu benda yang dipegangnya, Aku baru sadar kalau Mario memegang setangkai bunga.

“Wah mawar buat siapa tuh?" tanya Felix.

“O iya, ini sepertinya untuk salah satu diantara kalian, entah untuk siapa, Felix atau Sofyan. Saya temukan tergeletak di depan kamar kalian, hampir saja diinjak orang yang lewat tadi.”

Mario memberikan setangkai mawar putih itu kepada Felix. Dia memeriksanya sebentar kemudian mengulurkannya padaku.

“Ini sepertinya buat kau, Fyan,” ucap Felix sambil menunjukkan amplop putih yang bertuliskan namaku.

“Dari siapa?”

Felix hanya mengangkat bahu sebagai jawaban, tapi aku mengambilnya juga. “Ok, terima kasih Mario,”

“Sama-sama,” jawab Mario singkat.

Mario berjalan menjauhi kami lalu melanjutkan pekerjaannya mengambil sampah dari keranjang yang ada di sudut dekat jendela arah menuju tangga darurat.

Kami berjalan menuju lift. Dan hanya beberapa saat, kami sudah sampai di depan lift. Beberapa kali kutekan tombolnya, sayangnya selalu full. Akhirnya, kami memilih naik ke lantai lima melalui tangga darurat. Sambil menaiki tangga darurat aku membuka amplop kecil yang terkait di tangkai mawar putih yang baru saja diberikan Mario.

“Mawar dari siapa lagi Fyan?”

“Entahlah....”

“Penggemarmu mungkin...hehehe....” Felix tertawa kecil

Aku hanya menanggapi Felix dengan membalas tawanya.

“Mungkin nama pengirim ada di dalamnya?” ucap Felix penasaran.

Aku tak menggubris pertanyaan Felix. Rasanya tak penting mesti menjawabnya. Entahlah, ini seperti sebuah teror untukku. Ini mawar yang kesekian kali sejak dua bulan terakhir dan sampai saat ini aku masih belum mengetahui siapa pengirimnya. Aku penasaran. Tak sabar ingin segera membaca isi suratnya. Perlahan kubuka amplop merah muda itu. Kuambil kertas di dalamnya. Selembar kertas dengan tulisan tangan. Lalu kubaca isi suratnya.

 

Wahai pemudaku

Detak nadiku

Desah nafasku

Setelah kerinduanku untuk Tuhanku, keluargaku dan saudara seimanku

Kini kau meluluhan perasaanku

Dan tetiba kau juga ada di rinduku

-YSA-

***

Jujur hatiku bergetar membaca kalimat demi kalimat yang tertulis itu. Aku tersenyum membacanya. Degup jantungku seolah melambat. Namun, segera aku atasi. Aku tak mau ke ge-er-an. Karena siapa tahu bunga ini hanya dari orang iseng. Atau bisa jadi salah alamat?

Lihat selengkapnya