Kiara bergumam. Dia tak menjawab pertanyaanku. Dari caranya menatap wajahku, aku yakin penjelasanku tadi sudah sangat jelas dan sangat mudah dicerna. Bagaimana umat kristen begitu yakin bahwa malaikat Tuhan-lah yang menemui Maria? Bukankah tidak ada seorang pun saksi mata saat itu? Jika jawabannya adalah iman, maka aku pun demikian. Aku mengimani bahwa yang Rasulullah temui di Gua Hira itu adalah Jibril, sang penyampai Firman. Jika Kiara menjawab bahwa hal itu sudah dinubuatkan para nabi, maka aku pun demikian. Bahwa kenabian Muhammad pun sudah dinubuatkan oleh para nabi sebelumnya. Termasuk nubuat yang disampaikan oleh Nabi Isa ’alaihi salam, sebagaimana yang tercatat dalam Al-Qur’an ayat keenam surat Ash-shaff:
Dan ingatlah ketika Isa ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan datangnya seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad Muhammad.” Maka tatkala rasul itu datang kepada kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, kami berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.”
Mungkin aku akan dikatakan tidak obyektif jika hanya mengutip dari Al-Qur'an tanpa merujuk sumber lain di luar Islam. Namun, rasanya pembahasan akan terlalu panjang jika harus dituntaskan saat ini juga. Sebab, membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memaparkannya. Sementara di hadapan kami perlahan senja mulai turun.
Aku menarik napas Panjang lalu mengembuskannya. Kami masih duduk di tempat yang sama menikmati indah ciptaan-Nya. Di depan kami tersuguhkan pagelaran alam yang begitu memesona. Hamparan rumput hijau. Semilir angin menggoyang-goyangkan dedaunan yang merimbun seolah-olah berdzikir mengagungkan asma-Nya. Seperti dzikir hatiku sambil menikmati sejuknya sore.
Allah ....
Soreku ini atas fitrah Islam
Dan kalimat Tauhid
Atas agama Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Atas Millah Nabi Ibrahim yang hanif.
“Kalau begitu diskusi kita selesaikan dulu untuk hari ini. Lagi pula sudah sore.”
“Oke,” jawab Kiara.
“O iya aku minta maaf Kiara, jika diskusi tadi ada yang tidak berkenan.”
“Santai saja. Aku juga minta maaf kalau ada kata-kata dan sikapku yang kurang sopan.”
***
Usai berdiskusi kami kembali ke apartemen. Aku dan Fritz langsung menuju kamar masing-masing. Kiara, Eva dan Felix mampir sebentar ke mini market di lantai bawah untuk membeli snack.
Letih hari ini membuatku tak sabar untuk segera merebahkan tubuh. Akhirnya, aku tiba di depan pintu apartemenku. Tak jauh dari tempatku, hanya beda beberapa pintu dari, kulihat Zahra, teman satu jurusanku, hendak masuk ke apartemennya.
“Assalamu’alaikum ....” sapaku ke Zahra.
Mahasiswi S2 berwajah cantik khas gadis Minang dibalut dengan jilbab modis, itu melihat ke arahku. Lalu, menjawab salam.
“Wa’alaikum salam, aku masuk dulu ya ...,” jawabnya dengan air muka datar, lalu langsung masuk ke apartemennya.
***
Setibanya di kamar, segera kurebahkan diri di atas kasur. Pintu kamar sengaja tak kukunci karena Felix tak membawa kunci cadangan.
Kupejamkan mata, sejenak mengistirahatkan tubuh sambil memegangi kepalaku yang agak pusing.
Tak berapa lama, Felix sudah kembali ke kamar.
“Kenapa, Fyan?” tanya Felix.
“Nggak apa-apa,” aku merenggangkan sendi-sendi tulang belakangku.
“Aku heran dengan Kiara. Tadi sepanjang jalan ke sini sepertinya dia senang sekali.”
“Bagus dong kalau ada orang yang sedang senang bukan malah heran.”
“Kau tahu apa yang membuatnya senang?”
“Entahlah ....”
“Sepanjang jalan menuju ke sini, kulihat ia mencuri-curi pandang ke arahmu sambil sesekali tersenyum, padahal saat diskusi tadi wajahnya tampak geram sekali.”
“Mungkin hanya perasaanmu saja, Fel.”
“Aku serius.”
Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Ada SMS masuk. Kulihat layar handphone-ku ternyata SMS dari Kiara.