Handphone-ku berbunyi. Kiara meneleponku.
“Fyan ... kau di mana? Aku dan Fritz sudah sampai di sini.”
Hari ini aku akan menepati janjiku, menyambung diskusi dengan Kiara yang sempat terputus kemarin malam usai mengajar private di apartemen Fritz.
“Baru keluar perpustakaan,” jawabku.
“Kau tak lupa kan hari ini ada janji denganku?”
“Aku ingat. Di tempat biasa kan?”
“Aku tunggu ya?”
“Oke ....”
Kiara menutup teleponnya. Aku berjalan menuju tempat biasa kami berkumpul, di taman Universitas Saskatchewan.
“Bismilaahi tawakkaltu 'alallahi wa laa hawla wa laa quwwata illaa billaahi,[1]“ ucapku sambil melangkah.
Sepanjang jalan menuju taman, tiba-tiba terlintas kembali ucapan Felix usai private di tempat Fritz semalam. Di dalam lift dan selama perjalanan sampai apartemen kami ada kata-katanya menyentil perasaanku.
“Beruntung aku bertemu kau Fyan. Kau seperti guru yang mengingatkanku untuk selalu mengingat Tuhan.”
Aku sempat kaget. Apa maksud ucapannya. Namun, memang kulihat banyak perubahan darinya. Beberapa bulan terakhir ini ia semakin rajin beriba’dah. Saat aku bangun untuk shalat malam, ia juga bangun lalu berdoa sambil menyalakan lilin. Saat aku tilawah Al-Quran, ia juga membaca Alkitabnya.
“Rabb, ia mengambil pelajaran dariku dalam beriba’dah. Tapi iba’dah yang tak sesuai syariat-Mu. Ia tak mengimani-Mu. Berpahalakah aku? Atau menambah dosa, karena membuat orang lain menyekutukan-Mu? Ampuni hamba yaa Rabb,” bisikku dalam hati.
Entah kenapa dadaku sedikit terasa sesak. Akhirnya, aku sampai di taman. Langsung kutuju tempat biasa kami berkumpul, di hamparan rumput dekat pohon maple tua.
Kulihat sudah ada Kiara, Felix, Eva dan Fritz di sana. Mereka sudah menunggu kedatanganku. Kupercepat langkahku menghampiri mereka.
“Assalamu'alaikum ...,” sapaku lalu duduk diantara mereka.
Sejenak kuhela napas lelah. Mengatur napasku yang agak terengah. Kiara menatapku. Entah kenapa setiap kali dia menatapku, seperti ada rasa asing menyelinap ke dalam sanubariku. Dari raut wajahnya tampak Kiara ingin segera melontarkan pertanyaan-pertanyaan untukku.
“Boleh aku mulai bertanya, Fyan?” Kiara seperti sudah tidak sabar ingin memulai diskusinya.
“O ya ya. Silakan. Semoga aku bisa menjawabnya.”
Kiara membetulkan posisinya duduknya.
“Kemarin malam kau sempat bilang bahwa segala yang diucapkan Nabi Muhammad ialah wahyu dari Allah?”
“Ya benar.”
“Lantas di mana pesan Tuhan yang diturunkan Muhammad untuk pertama kali?” tanya Kiara memulai diskusi.
Aku yakin, Kiara sudah tahu jawabannya karena sudah pernah kuberitahu sebelumnya. Aku sudah hafal dengan caranya berdiskusi. Menurutku pertanyaannya hanya sekadar pancingan saja. Aku yakin Kiara sudah tahu jawabannya.
“Di Gua Hira,” jawab Fritz.
“Kalau cuma bertanya seperti itu ke aku saja, Kiara, nggak perlu nunggu Sofyan,” celetuk Eva.
“Bagaimana kalian yakin, Tuhan menyampaikan amanat-Nya di tempat seperti itu?”
“Yakin,” jawabku mantap. Eva dan Fritz pun serempak menjawab yang sama.
“Bagamana kalian bisa yakin yang menyampaikan pesan itu Malaikat Tuhan? Di dalam gua gelap?” tanya Kiara lagi, “bisa jadi itu suara Jin.”
“Aku sangat yakin, Malaikat Tuhan, Jibril yang menyampaikan pesan Tuhan itu,” ucapku.
“Bukankah saat itu kondisi beliau sendirian, tanpa seorang pun saksi?”
Fritz, Felix dan Eva menyimak. Kiara terdiam sejenak lalu mengajukan pertanyaan lagi padaku.
“Mengapa Tuhan tidak menyampaikan firman-Nya di tempat yang terang saja dan disaksikan banyak orang?” tanya Kiara lagi.