Aku masih duduk di salah satu bangku taman yang terletak di tepi Sungai Saskatchewan. Sejak usai shalat Ashar di masjid yang terletak di The Islamic Centre Saskatoon, tiga puluh menit lalu, sengaja aku ke sini. Sejenak memanjakan mata dengan hijaunya pohon-pohon sambil menikmati sejuknya udara. Melepaskan lelah sambil mentafakuri indah ciptaan-Nya.
Bersantai di tepi sungai selalu saja mengingatkanku dengan kampung halaman. Sore-sore biasanya aku mengajak 'Aini menyusuri Sungai Kuantan sambil menikmati jajanan rakyat atau melihat orang-orang memancing di tepi sungai. Biasanya, kami duduk di bangku berundak tempat biasa dipakai untuk menonton Pacu Jalur. Lalu, bercerita tentang cita-cita dan harapan kami yang setinggi langit. Seperti salah satu impian yang pernah kusampaikan ke 'Aini untuk bersekolah ke luar negeri waktu itu. Suatu impian yang sangat mustahil bagi ukuran manusia seperti kami yang hidup dengan ekonomi yang pas-pasan. Namun, impian itu kini telah terwujud, karena tak ada yang mustahil bagi Allah. Jika Dia berkehendak maka jadilah, Kun Fayakun. Tentunya harus dengan doa sungguh-sungguh dan ikhtiar yang tekun.
Duduk di sini juga mengingatkanku dengan kenangan setahun lalu. Senja itu bertepatan dengan Hari Raya Kurban, Idul Adha. Aku, Fritz, Felix, Kiara dan Eva berkumpul di taman pinggir Sungai Saskatchewan usai membantu panitia menyembelih hewan-hewan kurban.
Kami duduk bersantai di sini. Persis di tempat yang kududuki saat ini. Tak berapa lama bersantai sejenak, Fritz menceritakan sekilas sejarah Nabi Ibrahim saat mengurbankan putranya, Ismail. Saat itu Felix menimpali cerita Fritz dengan pernyataannya yang bertolak belakang. Felix mempertanyakan kebenaranan sejarah pengurbanan Nabi Ibrahim, terutama dilihat dari pandangan Islam.
“Aku heran dengan sikap beberapa orang Islam yang ngotot mengatakan bahwa anak yang dipersembahkan Ibrahim untuk Tuhan itu adalah Ismail,” ucap Felix.
“Bukankah memang Ismail yang akan dipersembahkan?” tanya Fritz.
“Kalau di Alkitab kami, jelas-jelas tertulis nama Ishak,” tegas Kiara.
Lalu, Kiara membuka handphone-nya. Sekilas aku melihat dia membuka aplikasi Alkitab digital. Lalu, dia mengutip ayat kedua, pasal ke-22 dalam kitab Kejadian.
Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”
“Itu kan dalam agamamu, Kiara?” ucap Fritz, “Kalau itu aku tahu. Sofyan pernah memberitahuku.”
Fritz melihat ke arahku. Aku hanya tersenyum seraya mengangguk pelan mengiyakan ucapan Fritz.
“Iya, benar. Alkitab menyebutkan demikian,” jawab Kiara.
“Tapi, setahuku Al-Qur’an menceritakan bahwa putra yang dipersembahkan Ibrahim adalah Ismail.”
“Kau sudah baca ayatnya?” tanya Kiara.
“Belum.”
“Kalau kau sudah baca, pasti kau tidak akan menemukan nama Ismail di sana,” ucap Kiara.
“Benar begitu, Fyan?” tanya Eva penasaran.
Aku tak segera menjawab. Aku ingin tahu, ke mana arah pembicaraan Kiara kali ini. Lalu, Kiara melanjutkan ucapannya.
“Aku hanya bingung. Sering sekali kulihat orang-orang Islam seolah-olah ingin mengoreksi dengan menyalahkan penyebutan nama Ishak di Alkitab. Sementara, Al-Qur’an sendiri tidak menyebutkan siapa nama putra yang akan dipersembahkan Ibrahim sebagai kurban?”
“Jangan bingung Kiara, nanti kau cepat tua hehehe ...,” ledek Felix.