Aku masih sangat ingat kejadian waktu itu. Hari itu aku, Kiara dan Fritz berkumpul makan siang di kantin kampus. Awalnya, kami hanya mengobrol iseng saja. Namun, ada yang mengusik kami. Terutama Kiara yang memang tak pernah bisa diam jika ada sesuatu yang menurutnya menarik untuk dibahas.
Aku memang sudah menduga Kiara pasti menghampiri mereka yang tengah mengobrol tak jauh dari meja kami. Mereka terdiri dari dua orang wanita dan satu pria itu terlihat sangat antusias membahas hak waris dalam Islam. Sebenarnya aku pun ingin ikut nimbrung. Hanya saja aku berpikir ulang, tidak semua yang aku tahu harus aku katakan kepada semua orang.
“Hukum waris dalam Islam itu harus diganti, tidak memihak wanita,” ucap salah satu wanita di antara mereka.
“Betul sekali, tak sesuai dengan zaman. Harusnya hukum warisan dalam Islam itu bersifat fleksibel, dan benar memang harus diganti karena tak memihak perempuan...,” sahut yang lain ikut menimpali.
“Dan yang terpenting harus memenuhi asas manfaat dan keadilan. Maka dari itu, hukum harus menyesuaikan dengan realitas zaman.”
“Hukum waris dalam Islam itu tidak adil, karena laki-laki mendapatkan bagian yang lebih banyak dibandingkan perempuan.”
Tiba-tiba Kiara berdiri dan dengan santainya menghampiri lalu duduk di antara mereka.
“Hai Kiara ..., ” sapa salah satu orang yang ada di kumpulan itu. Rupanya mereka teman Kiara. Aku dan Fritz mengamatinya dari jauh. Aku mendengar Kiara mengajukan beberapa pertanyaan pada mereka.
“Apakah kalian tahu, jika dalam Islam itu perempuan selalu terpenuhi segala kebutuhannya, karena nafkahnya menjadi tanggung jawab anak laki-lakinya, ayahnya, saudara laki-lakinya, dan setelah menikah, menjadi tanggung jawab suaminya?” ucap Kiara sungguh-sungguh dan tanpa basa basi membuat mereka langsung tertegun.
“Tahukah kalian, dalam Islam perempuan itu tidak mempunyai kewajiban menafkahi keluarga, sedangkan laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya?”