Embun di Atas Daun Maple

Hadis Mevlana
Chapter #27

Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad

“Semoga masih mendapat shaff pertama,” gumamku dalam hati.

Aku di depan lift. Lima menit lagi Azan Maghrib berkumandang. Tak berapa lama, lift terbuka dan aku segera masuk ke dalamnya lalu menuju Masjid.

Shaff pertama, shaff-nya para malaikat. Shaff-nya penghuni syurga, setidaknya itulah kata-kata yang dapat memotivasiku agar semangat menuju keampunan-Nya dalam jamaah shalat, sekaligus mengamalkan perintah Rasulullah Saw yang pernah kudengar dari khatib jumat. Saat itu Sang Khatib mengutipkan sebuah hadits yang diriwayat oleh Imam Muslim yang menyebutkan tentang keutamaan dari shaff pertama.

Sebaik-baik shaff barisan laki-laki adalah yang paling depan dan yang terburuk ialah barisan paling akhir. Namun seburuk-buruk barisan wanita adalah yang paling depan dan yang terbaik ialah yang paling belakang.

 

Aku tiba di masjid. Belum ada tanda-tanda shalat dimulai. Kulihat baru aku ada beberapa jamaah saja. Kukerjakan sunah dua rakaat sambil menunggu jamaah yang lain.

Usai shalat sunnah, kulihat sudah ada Fritz duduk bersila tepat di sebelahku. Dia tampak rapi dengan peci putih. Selalu, baju pemberian dari ku yang dipakainya untuk shalat berjamaah. Baju koko warna krem membuatnya tampak gagah. Seperti biasa dia memadupadankannya dengan sarung abu-abu motif kotak-kotak kesayangannya.

Aku duduk bersila. Beberapa bait zikir terlantun dari lisanku usai qabliyah Maghrib beberapa saat lalu. Tiba-tiba Fritz mencolek kakiku.

“Tadi Kiara nyariin kamu tuh.”

“Kiara?” tanyaku pelan penasaran, “Ngapain?”

“Entah, aku bilang saja kalau kamu sudah berangkat ke masjid,” ucap Fritz.

“Terus?”

“Katanya ada yang mau diobrolin. Aku bilang saja supaya dia datang lagi setelah shalat Maghrib dan .…”

Belum selesai Fritz menceritakan pertemuannya dengan Kiara, muadzin sudah mengumandangkan iqomat.

Allahu akbar

Asyhadu anla ilaha illallah

Wa asyhaduanna muhammadarrasulullah

Hayya 'alashalah

Hayya 'alalfalah

Qadqamatish-shalah

Allahu akbar

La ilaha illah

 

Lalu, kami dan beberapa orang jamaah masjid beranjak duduknya dan mengatur shaff.

***

Ba’da Maghrib.

Kulantunkan doa dan zikir. Tak berapa lama, setelahnya kulanjutkan shalat sunnah ba’diyah Maghrib.

“O iya kita ditunggu Kiara di foodcourt, katanya dia mau traktir,” ucap Fritz.

“Kapan?”

“Sekarang.”

“Haahh, dalam rangka apa? Bukannya hari ini jadwal kalian private?”

“Liburlah Fyan sekali-sekali. Kau ikut kan?”

“Tapi aku tak diundang....”

“Bukannya nggak diundang, tapi Kiara bilang handphone-mu tak bisa dihubungi. Jadi Kiara titip pesan untuk menyampaikannya padamu.”

“Hmmm....”

“Ayolah...nggak baik menolak rezeki.”

“Baiklah....”

Akhirnya, aku ikut juga ajakan makan malam Kiara. Aku dan Fritz langsung menuju foodcourt usai shalat.

***

Foodcourt di meja no.11

 

Dari depan pintu masuk kami mencari posisi meja Kiara.

“Itu di meja no.11,” ucap Fritz.

 Di sana kulihat Kiara dan Zahra tengah asyik berbincang. Felix dan Eva juga ada di sana. Tampak suasana hangat di obrolan mereka yang sesekali teriring tawa.

Kami menghampiri mereka, lalu mengucapkan salam.

Assalamu’alaikum...,” ucapku dan Fritz.

Wa’alaikum salam...,” jawab mereka, termasuk Kiara juga membalas salam.

Bukan hal aneh lagi bagi kami jika Kiara membalas ucapan salam teman-teman muslimnya. Kiara menganggap ucapan tersebut seperti sapaan biasa.

Lihat selengkapnya