Rabu, 05 Juni 2013.
Kini aku berdiri tepat di depan kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Toronto. Lokasinya berada tepat di Jarvis Street. Aku baru saja usai mengurus beberapa berkas di sana. Tepat di belakangku, bendera merah putih kebanggan Indonesia melambai-lambai lembut tertiup angin, tetapi tetap terlihat gagah di cuaca panas hari ini.
Setelah memastikan dokumen yang kuurus tadi sudah lengkap, rencananya hari ini aku segera kembali ke Saskaton. Seperti rencana yang sudah ku atur sejak minggu lalu, aku ingin mampir sebentar ke pusat retail terbesar di Kanada, The Hudson's Bay Company. Sebab aku masih punya banyak waktu di sini. Jika sesuai jadwal, keretaku akan berangkat sekitar jam sepuluh malam nanti. Masih banyak waktu yang bisa kulakukan dari pada hanya menunggu di stasiun.
Dengan arahan dari google maps rencanan aku akan berjalan kaki menuju The Hudson's Bay Company yang terletak di Queen Street. Informasi dari maps, lokasi The Hudson's Bay Company dapat kutempuh paling cepat sekitar 12 menit. Tak terlalu jauh bagiku. Meski sebenarnya menggunakan taksi memang cukup nyaman dan hanya memerlukan waktu sekitar empat menit saja untuk tiba di sana. Namun, rasanya sayang jika harus mengeluarkan uang lagi. Lebih baik kupergunakan untuk yang lain. Apalagi tiket keretaku cukup merogoh kocek lumayan dalam. Untuk tiket kereta ekonomi sebesar $199.50 itu pun harga promo.
Ada beberapa barang yang rencananya ingin ku beli di sana. Sebelumnya, aku sudah melihat ada beberapa barang unik di sana melalui internet. Rencananya akau akan membelikannya sebagai hadiah untuk Emak dan 'Aini sekaligus membeli sebuah kado untuk acara hari minggu nanti. Aku dan teman-teman diundang Kiara menghadiri pesta ulang tahun pernikahan orang tuanya di salah satu hotel mewah, di Saskatoon. Sengaja aku sudah mencari-carinya lebih dahulu di internet, agar tidak menghabiskan waktu berlama-lama di sana. Sebab aku mesti mengejar jadwal keretaku. Aku perlu memperhitungkan waktu untuk menuju Toronto Train Station yang terletak di Front Street West, di sisi selatan blok yang dibatasi oleh Bay Street dan York Street di pusat kota Toronto.
“Gleg”, begitu kira-kira terdengar suara dari kerongkonganku. Jakunku naik turun menelan liur. Haus menjalar di tenggorokanku. Kuambil botol minum di sisi sebelah kanan tas gemblok yang sekarang sedang kupeluk, sambil mencari tempat untuk duduk. Terik hari ini seperti membakar ubun-ubun. Menurut perkiraan cuaca, suhu hari ini sekitar 30 derajat.
“Bismillahirrahmanirrahim,” ucapku sesaat sebelum meneguk air yang kuminum langsung dari bibir botol.
“Alhamdulillah,” ucapku menyudahi tegukan air untuk yang ketiga kalinya, sambil menutup kembali botolnya rapat-rapat lalu menyelipkan kembali ke tempat semula.
Tiba-tiba, terdengar suara orang yang memanggil-manggil namaku. Kualihkan pandangan sambil mencari sumber suara. Namun, aku tak menemukan dari mana sumber suara itu. Aku hanya melihat orang-orang sedang lalu lalang serta bayang-bayang segala benda yang tergeletak pasrah di aspal.
Lalu, terdengar lagi suara memanggil namaku.
“Sofyaaan ...,” teriaknya memanggilku.
Ternyata, suara itu datang dari arah sebuah sedan merah. Orang di dalam sedan itu melambaikan tangannya. Aku tak mengenali pria berkacamata hitam yang berada sekitar seratus meter di depanku. Aku mengerutkan keningku berusaha mengingat-ingat Kembali, siapa sosok lelaki yang sedang melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum dari dalam sedan itu.
“Sofyaaan ... Sofyaaan ....”
Lelaki berba’dan besar dengan rambut berwarna kecoklatan itu melepas kacamata hitamnya lalu melambaikan tangan dan memanggil-manggil namaku. Lagi, aku mengerutkan keningku. Tak berapa lama, akhirnya aku mulai mengenali orang yang ada di hadapanku itu.
“Hezron,” teriakku sambil melambaikan tangan.
Aku melangkah menghampirinya. Hezron turun dari mobilnya lalu kami saling menjabat tangan.
Ioassaf Hezron Efharisto, begitu nama lengkapnya. Seorang sahabat yang pertama kali kukenal saat acara debat ekonomi dua tahun lalu di kampusku.
Beberapa kali sempat kuulangi pertanyaanku ketika ia memperkenalkan namanya. Namanya agak asing terdengar di telingaku.
“Apa kabar Zron?”
“Baik-baik, kamu?”
“Alhamdulillah baik-baik juga, wah rapi benar, darimana Zron?” tanyaku ke Hezron yang kali ini mengenakan kemeja bergaris vertikal biru dipadu celana jeans biru pudar.