Minggu, 09 Juni 2013: Loby Apartemen
Aku dan Felix langsung menuju lobby apartemen. Di sana kulihat sudah ada Fritz, Zahra dan Olivia. Dari kejauhan kulihat Frits sedang asyik dengan gadget-nya. Sementara, Olivia dan Zahra terlihat sedang asyik ngobrol berdua. Ini pertemuan kali pertama mereka, namun tampak seperti sudah saling mengenal sejak lama. Samar kudengar, mereka sedang berbincang seputar perkuliahan lalu berlanjut membicarakan cara berpakaian seorang muslimah yang baik dan benar sesuai syariat.
“Zahra, hari ini pertama kali aku belajar menutup aurat, mohon doanya agar saya bisa konsisten seperti yang lainnya,” ucap Olivia.
“Insyaallah … semoga setiap jalan kebaikan yang kita lakukan dipermudah Allah.”
“Amin.”
Aku baru menyadari, ternyata ada perubahan pakaian yang digunakan Olivia saat ini. Olivia mengenakan rok lebar panjang menjuntai hingga mata kaki, serasi dengan kemeja lengan panjang bermotif bunga. Aku baru ingat, sebelumnya Olivia memang pernah menyampaikan kepadaku kalau dia ingin mencoba memperbaiki caranya berpakaian. Kali ini penampilannya sungguh sangat berbeda. Olivia sempurna menutup auratnya dengan kerudung biru muda yang menutup hingga dadanya.
“Assalamu’alaikum ….”
“Wa’alaikum salam …,” jawab Fritz, Zahra dan Olivia.
“Kiara dan Eva mana?”
“Entahlah ... mungkin masih di unit apartemennya?”
Olivia dan Zahra melanjutkan obrolan mereka yang sempat terputus karena kedatangan kami. Lalu, suasana mencair begitu saja dengan obrolan-obrolan ringan. Tanpa kami sadari sepuluh menit sudah berlalu. Kiara dan Eva belum juga turun. Sudah aku SMS dan telepon, tapi tak ada balasan.
"Tidak ada jawaban, Fyan?" tanya Felix.
"Tidak ada. Aku juga sudah coba menghubungi Eva, tapi sepertinya handphone-nya mati. Biar aku lihat ke unitnya."
Akhirnya aku datangi unitnya dengan menaiki lift. Di dalam lift aku masih mencoba menghubunginya, tetapi hasilnya tetap sama. Kiara ataupun Eva tak bisa dihubungi.
Tak berapa lama, aku sampai di depan unitnya. Kuketuk dan pintu pun terbuka.
"Eva ... kalian sudah siap?"
“Sssttt tunggu sebentar,” ucap Eva berbisik sambil menunjuk ke arah Kiara.
Sejenak aku membisu di luar unit apartemennya. Pintu kamar Kiara yang dibuka agak lebar membuatku tak sengaja melihat tampilan kamarnya yang ditata sedemikian rupa. Berbagai simbol keagamaan diatur rapi. Icon Bunda Maria terpajang di dinding tepat di atas tempat tidurnya, sementara patung kecil Yesus serta salib berukuran sedang yang rapi tertata di atas meja belajar. Komboskini dengan butiran batu berbagai warna tertata rapi terpasang di dinding dan Alkitab di sudut meja belajar bersebelahan dengan deretan lilin yang telah meleleh, mungkin sudah sering digunakan ketika dia berdoa.
Sekilas, aku melihat di salah satu sudut kamar Kiara, di hadapanku sedang terjadi sebuah ritual. Sebuah ritual dengan gerakan yang mirip dilakukan ketika muslim menjalankan shalat.
“Gerakannya mirip shalat dalam Islam,” bisikku dalam hati.
Aku memperhatikan gerakan dan doa yang tengah dipanjatkan Kiara. Khusyu sekali kelihatannya.
Kemuliaan bagi sang Bapa
Sang Putra
Serta Sang Roh Kudus
sekarang dan selalu, serta sepanjang segala abad
Amin
Kemuliaan bagi-MU ya ALLAH kami, kemuliaan bagi-MU.
Allah Maha Kudus
Sang Kuasa Maha Kudus
Sang Kekal Maha Kudus
Kasihanilah kami
Aku sempat mendengar beberapa bait doa terlantun pelan. Doa yang dilafalkan dengan perlahan, dengan posisi membungkuk seperti ruku-nya muslim ketika shalat. Hanya saja bedanya ketika mengucapkan doa, tangan Kiara sambil membuat gerakan tanda salib.
Aku penasaran tentang ritual yang sedang dilakukannya. Kiara berdiri tegak menghadap timur sambil membuat tanda salib lalu sujud di atas permadani seukuran sajadah. Sekilas kulihat dari tempatku berdiri sajadah yang dipakainya sedikit berbeda dengan yang biasa dipakai muslim ketika shalat. Biasa kujumpai sajadah bergambar ka'bah di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Sajadah yang dipakai Kiara semarak dengan gambar khas ornament ke-Kristen-an dengan gambar salib di sisi-sisinya. Baru kali ini aku menyaksikannya secara langsung. Sebelumnya, Kiara pernah menceritakan kalau dia mendapat hadiah sajadah yang dipesan khusus ayahnya dari Turki sebagai hadiah ulang tahunnya setahun lalu.
Tak berapa lama kemudian posisinya kembali berubah. Kali ini Kiara berdiri tegak sambil membuat tanda salib dan mengakhiri iba’dahnya dengan mengucapkan doa:
Kemuliaan bagi sang Bapa
Sang Putra
Serta Sang Roh Kudus
Sekarang dan selalu
Serta sepanjang segala abad
Amin.
“Sofyan … Fyan…?”
Eva mengagetkanku yang masih terpaku melihat ritual yang dilakukan Kiara.
“Eva ... itu ...?” tanyaku.
“Tunggu sebentar Fyan ... Kiara sedang sembahyang ….”
“Oo ... oke ....”