Akhirnya, kami tiba juga di apartemen sekitar jam sembilan malam. Aku kembali dari acara pesta bersama dengan Felix dan Fritz, berbeda mobil dengan Eva, Olivia dan Zahra yang pulang bersama Kiara. Di pesta tadi mereka bilang akan pulang belakangan karena masih ingin membantu merapikan barang-barang orang tua Kiara ke dalam koper, karena esok pagi orang tua Kiara ingin melakukan honeymoon lagi ke Paris.
Setibanya di kamar, Felix segera menyalakan TV, mengejar acara favoritnya, yang akan segera usai jam tayangnya.
“Ahhh sial telat...,” gerutu Felix yang tertinggal acara musik favoritnya.
Tak berapa lama, acara TV berganti.
“Jangan dimatikan dulu Fel, TV-nya.”
“Ok …, aku sudah hafal, ini kan acara favoritmu, headline news.”
Headline news di TV membuat aktivitasku berhenti sejenak.
Sebenarnya berita yang dibawakan oleh news anchor[1] itu sama sekali tidak menarik. Seperti biasa, lagi-lagi berita tentang korupsi. Hanya saja, jam segini headline news dibawakan oleh penyiar favoritku. Bukan hanya lantaran news anchor itu cantik dan lugas mengupas berita hingga aku memfavoritkannya, tetapi sebab wajahnya yang mirip dengan adikku, ‘Aini.
Lima menit berlalu, headline news pun usai. Langit berganti gulita. Tubuhku mulai mendingin. Sejuk dengan aroma malam yang begitu memesona. Di langit bulan bergelayut manja laksana anak kecil dalam buaian ibunya. Sesekali ia mengintip di antara awan kelam dalam bias malam. Felix mengambil gitarnya. Lalu, dia memetik nada-nada entah ia kutip dari lagu siapa. Dia sering sekali memainkan nada ini. Aku hampir menghafal tiap-tiap alunan nadanya. Nadanya indah.
“Lagu siapa Fel?” tanyaku penasaran.
“Iseng aja...asal petik gitar saja ....”
“Ciptaanmu sendiri?”
Felix mengangguk, sambil terus memetik gitarnya.
“Kok tidak ada liriknya?”
“Belum dapat ide mau dibuat lirik seperti apa.”
Aku mengangguk pelan seraya terbesit sebuah ide di pikiranku,
“Coba kau ulangi lagi,” pintaku.
Felix mengulangi lagi petikan gitarnya dari awal. Felix memejamkan matanya seolah begitu menghayati tiap melodi yang keluar dari petikan gitarnya. Lalu, aku menembangkan syair-syair saat ia memetik gitarnya. Felix membuka matanya. Dia tampak kaget saat nada-nada yang dimainkannya cocok dengan syair yang kutembangkan.
Aku inginkan hati sederhana
Seperti tauhid tentang-Mu yang mudah kucerna
Karena Kau satu ... bukan dua ... tiga ... dan seterusnya