Aku tak tahu apa yang dirasakan Kiara saat aku belum mampu menjawab pernyataannya, karena aku pun tidak tahu apa yang harus aku katakan dan aku rasakan. Sepanjang perjalanan pulang hanya hati yang berbicara. Kata-katanya masih terngiang jelas di telingaku: “Aku mencintaimu, izinkan aku menjadi rusuk kirimu ....”
Suasana menjadi begitu kikuk. Terlebih aku. Merasa serba salah. Jujur, sebagai laki-laki aku sangat senang dan bahagia dicintai wanita secantik dan sebaik Kiara. Namun, ini bukan hanya perihal rupa, melainkan tentang keimanan. Meskipun tadi Kiara sudah mau bersyahadat, akan tetap aku takut dia bersyahadat hanya karena mencintaiku, bukan tulus dari hatinya karena mengharap rahmat Allah.
“Bagaimana bisa cinta kepada Tuhan harus bersyarat dengan balasan cinta kepada manusia?” akhirnya aku mampu memecah keheningan.
“Maksudmu?”
Aku menengadah menatap langit. Andai dimampukan, ingin sekali aku melihat Lauhul Mahfuz, agar tahu apakah wanita disebelahku ini adalah benar jodohku atau bukan.
“Aku khawatir jika niatmu menjadi muslimah karena syarat untuk aku menerima cintamu? Lantas bagaimana jika cintamu bertepuk sebelah tangan?”
“Jangan khawatir, Fyan. Niatku tulus dari hati terdalam. Lalu jika aku menyukaimu, itu perkara lain lagi. Tidak ada kaitannya dengan niatku menjadi seorang muallaf.”
“Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu.”
“Kau pernah bilang sendiri kan tentang Hidayah. Ia bisa datang kepada siapa saja, kapan saja, dan dengan cara bagaimana saja.”
“Benar.”
“Keputusanku menjadi muallaf ini bukan lantaran kehebatanmu yang selalu menjawab pertanyaan-pertanyaanku saat diskusi kita. Bukan pula karena kau telah menunjukkan keganjilan dalam kitab suciku. Entahlah, aku juga sulit menjelaskan perasaan ini. Perasaan damai dan nyaman saat mempelajari Islam, juga rasa puas karena segala pertanyaanku terjawab dalam Islam.”
“Alhamdulillah ....”
“Jika aku bersyahadat saat ini, apakah aku sudah menjadi muslim?”
“Iya tentu saja.”
“Semudah itu?”
“Iya.”
“Tak perlu ada ritual khusus, seperti pembaptisan dalam ajaran Kristen?”
“Tidak perlu, Kiara.”
“Jadi sore ini aku sudah bisa shalat Maghrib?”
“Tentu saja.”
“Tapi, aku hanya baru tahu gerakannya saja, bacaan shalatnya aku belum hafal.”
“Tidak apa-apa, nanti bisa sambil belajar. Lakukan saja semampu yang kau bisa.”
Kami hampir tiba. Jarak semakin dekat dengan apartemen kami sekitar seratus meter lagi di hadapan.
“Tapi mengenai keislamanmu, sebaiknya ada banyak orang yang menyaksikan.”
“Mengapa? Bukankah Allah maha mengetahui segalanya? Termasuk isi hatiku saat ini?”
“Benar sekali. Akan tetapi lebih baik disaksikan oleh banyak orang?”
“Untuk apa?”
“Hal ini terkait dengan hak-hakmu nanti sebagai seorang muallaf, sebagai seorang muslimah.”
“Misalnya?”
“Salah satunya dalam pembagian zakat, sebab salah satunya ada hak muallaf di sana. Selain itu juga dalam hal pengurusan jenazah. Jika tidak ada yang tahu kau seorang muslimah dan orang mengenalmu masih sebagai seorang Kristen, tentulah tata cara penguburannya akan dilakukan dengan cara Kristen, bukan dengan cara yang islami. Dan masih banyak lagi lainnya terkait kehidupan bermasyarakat.”
“O begitu, baiklah, besok hari jumat aku minta tolong kau dan teman-teman menemaniku ke masjid untuk meresmikan keislamanku?”
“Insyaallah.”
Semoga besok, ba’da shalat jumat, bukan mimpi seperti mimpi yang pernah kualami sebelumnya.