Embun Diandra

Indach Fauzian
Chapter #1

Part 1

Suatu hari di kota Bangkalan Diandra yang mulai beranjak dewasa, terpesona pada seorang pria. Dia tidak setampan banyak pria lain di antaranya, dia bahkan tidak sehangat yang lain. Tapi entah bagaimana pesonanya jadi setajam ujung sedotan, begitu menusuk. "Ah, apa - apaan ini." Pikirnya setengah sadar setengah mabuk pesona.

Mereka bertemu tanpa sengaja tentu saja. Sebuah acara seminar kebudayaan se-Madura. Diandra mewakili sekolahnya, dan pria itu mewakili kampusnya.

Hari pertama bertemu pada Opening Ceremony di Pendopo, Diandra begitu risih duduk di depan seseorang yang selalu mengepulkan asap rokok ke arahnya, Diandra tahu pasti bahwa itu bukan disengaja. Hanya saja arah angin menerbangkan asapnya begitu pas di hadapan wajah Diandra.

Karena sedikit jengkel, Diandra menoleh ke arah pusat asap rokok. Seorang pria gondrong dengan kostum yang nyentrik. Telinga kirinya ditindik dua, celananya melorot dan ada aksen sobek di bagian lutut, yang paling membuat geli tak karuan kaosnya bergambar kartun Donal Bebek. Sempurna, nyentriknya.Tapi bukan pada saat pertama itu Diandra terpesona. Justeru ia risih, merasa aneh.

Di forum kedua Diandra perhatikan dia begitu aktif bertanya kadang menyampaikan pendapat. Wawasannya begitu luas. Pemikirannya begitu cerdas, sedikit berbanding terbalik dari perkiraan Diandra yang sekedar mereka-reka dari tampilan slengean nya.

Saat istirahat siang itulah Diandra tiba-tiba mendapat sebuah pesan, singkat padat dan cukup jelas. "Hai, kamu Diandra, kan?".

Deg. Hati Diandra sedikit bergetar. Ya, hanya sedikit. Seseorang di ujung sana mengetahui namanya. Baiklah Diandra masih sadar bahwa pasti banyak orang iseng di tempat mana saja ia berada. Cuekin.

Beberapa detik berlalu. "Dek, aku juga ada di tempat acara yang sama, loh". Deg lagi di dalam hati. Kali ini bukan getaran yang Diandra rasa tapi kecurigaan mendalam sambil lalu memperhatikan orang-orang sekitar, siapa kira-kira yang se iseng itu terhadap anak SMA se-apa adanya Diandra sementara peserta lain banyak mahasiswi yang cantik lagi anggun. Dengan mantap tapi penuh tanda tanya Diandra matikan handphone lalu tidur siang.

Malam hari sebelum Diandra benar-benar terpesona terhadap pria gondrong itu. Sebelum ke forum untuk mengikuti materi selanjutnya Diandra lihat peserta berkumpul sambil bercanda sesekali memetik gitar sambil bernyanyi.

Saat Diandra mendekat salah seorang di antara mereka memanggil Diandra untuk duduk di sampingnya. Si rambut gondrong itu, tampak matanya berbinar melambaikan tangan seolah meyakinkan Diandra duduk di kursi yang berdekatan dengannya.

Entah bagaimana Diandra pun duduk dengan kikuk tepat di sebelah kanannya. Sejurus kemudian dia sedikit berbisik di tengah bisingnya alunan musik nyanyian yang lain.

"Dek, yang SMS tadi itu aku, loh. Aku minta nomermu ke Adi. Maaf ya kalo lancang".

Diandra melempar senyum datar sambil gemetar. Lalu dia banyak berbicara apa saja. Diandra lupa. Dia banyak menyebut nama teman yang kebetulan satu kota dengan Diandra dan lagi kebetulan Diandra kenal. Tapi seolah Diandra tenggelam tak mendengar sepatah kata pun darinya. Tenggelam dalam pesonanya, mungkin. Wah, keterlaluan ini...

Di dalam forum. Untuk kesekian kalinya Diandra melihat bagaimana dia mengajukan pertanyaan. Di situlah ia merasa, pria ini beda kan? Dia mungkin yang disebut anak punk tapi berbobot. Entahlah, istilah apa sih itu. Anak bau kencur macam Diandra kadang memang terlalu berlebih-lebihan. Kadang iya, kadang ya memang begitulah perasaan.

Baik. Selesai ruang materi. Selesai. Di halaman sebelum pagi perpisahan. Dia mengajak Diandra bergabung dengan teman-teman lain, duduk lesehan. Sedikit berjauhan. Di antara mereka berdua ada beberapa orang teman yang tengah asik mengobrol.

Dia masih duduk di sana. Di tempat di mana tatapan mata Diandra tertuju tepat pada piawainya ia memainkan gitar sambil bersenandung. Sebuah lagu yang kelak menjadi lagu kenangan mereka, Tentang Kita, PeterPan, kala itu.

“O, iya. Nama kamu Diandra, kan? Aku Bayu," ucapnya yang secara tiba-tiba menghentikan petikan gitar.

“Aku panggil Adek aja kali, ya? Kan kamu masih SMA, nih,” lanjut nya.

Lihat selengkapnya