Douglas Starr bertahan hidup sampai dua minggu kemudian. Pada tahun-tahun mendatang, ketika kepedihan telah sirna, Emily menganggap kenangan bersama ayahnya adalah kenangan paling berharga. Dua minggu terakhir itu begitu indah—indah dan tidak menyedihkan. Dan, suatu malam, ketika Ayah berbaring di sofa ruang duduk, dengan Emily duduk di sampingnya di sebuah kursi tua, dia pergi menembus tirai. Dia pergi dengan begitu tenang dan damai, sehingga Emily tak menyadarinya, sampai tiba-tiba Emily merasakan kesunyian yang asing dalam ruangan itu. Tak ada bunyi napas selain napasnya sendiri.
“Ayah … Ayah!” jerit Emily. Lalu dia berteriak memanggil Ellen.
Ellen Greene mengatakan kepada keluarga Murray saat mereka datang bahwa Emily telah bersikap sangat baik, mengingat kondisinya. Tepatnya, Emily sudah menangis sepanjang malam dan tak tidur sekejap pun. Tak satu pun dari orang-orang Maywood yang berdatangan untuk membantu dapat menghiburnya. Namun, ketika pagi datang, air mata Emily telah habis terkuras. Dia tampak pucat, diam, dan pasrah.
“Nah, begitu lebih baik,” kata Ellen. “Begitulah hasil persiapan yang baik. Ayahmu sangat marah kepadaku karena aku memberitahumu, dan sejak itu dia tidak bersikap sopan kepadaku. Tapi dia sedang sekarat, dan aku tak ingin menyimpan dendam terhadapnya. Aku sudah melakukan tugasku. Mrs. Hubbard sedang menyiapkan gaun hitam untukmu dan gaun itu akan siap pada saat makan malam. Keluarga ibumu akan datang kemari malam ini, begitulah bunyi telegraf mereka. Dan aku berkewajiban membuatmu terlihat terhormat di depan mereka. Mereka kaya raya dan mereka akan membiayaimu. Ayahmu tak meninggalkan sesen pun, tapi juga tak ada utang, itu yang akan kukatakan untuknya. Apa kau sudah melihat mayatnya?”
“Jangan menyebutnya seperti itu,” seru Emily, menggigil. Mengerikan sekali mendengar sebutan itu untuk Ayah.
“Kenapa tidak? Kau anak yang paling aneh. Penampilan mayatnya tampak lebih baik dari yang kukira, mengingat penyakitnya itu. Dia lelaki yang tampan, meskipun terlalu kurus.”
“Ellen Greene,” bentak Emily tiba-tiba. “Jika kau masih saja berkata seperti itu tentang Ayah, aku akan menyantetmu!”
Ellen Greene melotot. “Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu. Tapi kau tidak boleh bilang begitu setelah semua yang kulakukan untukmu. Sebaiknya kau tidak bicara seperti itu di depan keluarga Murray, atau mereka tidak akan mengambilmu. Menyantet, ya? Jadi begitu caramu berterima kasih!”
Sepasang mata Emily menajam. Dia hanyalah seorang gadis kecil yang kesepian dan terkucil, dan dia merasa tak punya teman. Tapi dia tak menyesal telah mengucapkan kata-kata itu kepada Ellen dan dia tak akan berpura-pura menyesal.
“Kemarilah dan bantu aku mencuci piring,” perintah Ellen. “Lebih baik kau melakukan sesuatu agar pikiranmu tenang dan kau tak perlu menyantet orang yang telah membanting tulang merawatmu.”
Emily menatap tangan Ellen sekilas, lalu pergi mengambil kain untuk mengelap piring. “Tanganmu gemuk dan gempal,” ujar Emily. “Tulang-tulangmu sama sekali tidak kelihatan.”
“Jangan lancang! Itu tak baik, dengan ayahmu terbaring mati di dalam sana. Tapi jika Bibi Ruth membawamu, dia akan segera memperbaiki perilakumu.”
“Apa Bibi Ruth yang akan membawaku?”
“Aku tidak tahu, tapi seharusnya begitu. Dia seorang janda tanpa anak, dan kaya raya.”
“Kurasa, aku tidak mau ikut Bibi Ruth,” kata Emily mantap, setelah beberapa saat mempertimbangkan.
“Yah, tampaknya bukan kau yang memilih. Kau harus bersyukur bisa mendapatkan tempat tinggal di mana pun. Jangan lupa, kau bukan orang yang terlalu penting.”
“Aku penting bagi diriku sendiri!” seru Emily bangga.
“Membesarkan dan mendidikmu akan menjadi tugas berat,” gerutu Ellen. “Bibi Ruth adalah orang yang tepat, menurutku. Dia akan bersikap tegas. Dia adalah perempuan yang baik dan pengurus rumah tangga paling rapi di Pulau Pangeran Edward. Kau bisa menyantap makanan langsung dari lantainya.”
“Aku tidak mau makan dari lantainya. Aku tidak peduli lantainya kotor, asalkan taplak mejanya bersih.”
“Taplak mejanya pasti lebih bersih lagi. Dia punya rumah mewah di Shrewsbury dengan jendela-jendela lengkung dan hiasan kayu di sekeliling atapnya. Sangat bergaya. Rumah itu akan menjadi tempat tinggal yang baik untukmu. Dia akan mengajarimu tata krama dan memberimu yang terbaik.”
“Aku tidak mau belajar tata krama dan diberi yang terbaik,” erang Emily dengan bibir bergetar. “Aku … aku ingin seseorang mencintaiku.”
“Kau harus membawa diri dengan baik kalau kau ingin orang-orang menyukaimu. Kau tidak bisa disalahkan sepenuhnya, ayahmu sangat memanjakanmu. Aku sering menasihatinya tapi dia hanya menertawakanku. Mudah-mudahan dia tak menyesalinya sekarang. Kenyataannya, Emily Starr, kau ini anak aneh, dan orang-orang tidak suka anak aneh.”
“Aneh bagaimana?” desak Emily.
“Bicaramu aneh, tingkahmu aneh, dan kadang kau juga terlihat aneh. Kau juga terlalu dewasa untuk usiamu, meskipun itu juga bukan salahmu. Itu akibat kau tidak pernah bergaul dengan anak-anak lain. Aku selalu mendesak ayahmu agar menyekolahkanmu. Belajar di rumah tidaklah sama, tapi dia tidak pernah mendengarkanku, tentu saja. Aku tidak melarangmu membaca buku sesukamu, tetapi apa yang kau perlukan adalah belajar menjadi seperti anak-anak lain. Di satu sisi, akan baik buatmu kalau Paman Oliver yang membawamu, karena dia punya keluarga besar. Tapi dia tak terlalu kaya seperti yang lainnya, jadi tampaknya dia tak akan membawamu. Mungkin pamanmu Wallace, karena dia menganggap dirinya kepala keluarga Murray. Dia hanya punya satu putri yang sudah dewasa. Tapi istrinya sangat lemah, atau begitulah yang dibayangkannya.”
“Kuharap Bibi Laura yang akan membawaku,” ujar Emily. Dia ingat Ayah pernah menyebutkan bahwa Bibi Laura sedikit mirip ibunya.
“Bibi Laura! Dia tidak punya pengaruh! Elizabethlah yang jadi bos di New Moon. Jimmy Murray menjalankan peternakan itu, tapi dia tidak utuh. Begitu yang kudengar .....”
“Apanya yang tidak utuh?” tanya Emily, penasaran.
“Ah, ini tentang pikirannya, Nak. Dia agak terbelakang. Kudengar, itu karena kecelakaan atau semacamnya waktu dia masih muda. Dia jadi agak linglung. Elizabeth pun agak kacau karenanya. Aku tidak pernah mendengar bagaimana pastinya. Tapi aku yakin orang-orang New Moon tak akan mau direpotkan olehmu. Mereka tak akan mau mengubah kebiasaan hidup mereka demi kau. Turutilah nasihatku. Cobalah menyenangkan hati Bibi Ruth. Bersikaplah sopan dan baik, mungkin dia akan menyukaimu. Nah, semua piring sudah selesai dicuci. Pergilah ke atas dan jangan merecoki aku lagi.”
“Bolehkah aku membawa Mike dan Saucy Sal?” pinta Emily.
“Tidak.”
“Tapi mereka itu teman-temanku,” Emily memohon.
“Teman atau bukan, kau tidak boleh membawa mereka. Tempat mereka di luar, dan akan tetap di luar. Lantainya sudah dipel.”
“Kenapa kau tidak mengepel lantai ketika Ayah masih hidup?” tanya Emily. “Dia ingin segala sesuatunya bersih. Kau nyaris tak pernah mengepel lantai sebelumnya. Kenapa kau melakukannya sekarang?”
“Apa kau bilang? Apa aku harus selalu mengepel lantai dengan rematikku? Pergilah ke atas dan sebaiknya kau berbaring sebentar.”
“Aku akan pergi ke atas, tapi aku tidak mau berbaring,” sahut Emily. “Aku harus memikirkan banyak hal.”
“Ada satu saran lagi dariku,” kata Ellen. Dia tak mau kehilangan kesempatan untuk melakukan tugasnya, “Berlutut dan berdoalah kepada Tuhan agar kau menjadi anak yang baik, bisa menghargai, dan berterima kasih kepada orang lain.”
Emily berhenti sejenak di tangga dan menoleh. “Ayah bilang, aku tak boleh berurusan dengan Tuhan-mu,” ujarnya serius.
Ellen terperanjat, tapi tak dapat memikirkan jawaban untuk pernyataan Emily yang kurang ajar. Dia mengangkat kedua tangannya, mengadu kepada dunia, “Adakah yang pernah mendengar kelancangan seperti itu?”
“Aku tahu seperti apa Tuhan-mu,” sahut Emily. “Aku melihat gambar-Nya di buku Adam-dan-Hawa milikmu. Dia bercambang dan mengenakan gaun tidur. Aku tidak suka kepada-Nya. Tapi aku suka Tuhan ayahku.”
“Dan seperti apa Tuhan ayahmu, kalau boleh aku tahu?” tuntut Ellen sinis.
Emily sama sekali tidak tahu seperti apa Tuhan ayahnya, tapi dia tidak mau kalah. “Dia secerah bulan, seterang sinar matahari, dan segarang tentara pembawa panji-panji,” katanya penuh kemenangan.
“Yah, kau boleh yakin dengan kata-katamu, tapi keluarga Murray akan mengajarimu yang sesungguhnya,” kata Ellen, mengakhiri perdebatan. “Mereka umat Presbyterian yang taat dan tak akan mendukung kepercayaan ayahmu yang keliru. Pergilah ke atas.”
Emily naik ke kamar selatan, merasa sangat hampa.
“Tak ada lagi orang di dunia ini yang mencintai aku sekarang,” katanya sembari meringkuk di tempat tidurnya di sisi jendela. Tapi dia sudah bertekad untuk tidak menangis.
Keluarga Murray yang membenci Ayah tak boleh melihat dia menangis. Emily benci kepada mereka semua, kecuali mungkin Bibi Laura. Tiba-tiba saja dunia terasa begitu luas dan kosong baginya. Tak ada yang menarik lagi. Tak jadi masalah bahwa pohon apel kerdil yang tumbuh di antara Adam dan Hawa telah berbunga cantik dalam salju, bahwa bukit-bukit di seberang lembah menjadi sutra hijau berselimut kabut ungu, bahwa bunga-bunga dafodil bermekaran di taman, bahwa pepohonan birch menjuntaikan bunga-bunga keemasan, bahwa Dewi Angin sedang mengembus awan-awan putih tipis di langit. Tak ada satu pun dari semua itu menarik perhatian atau menghibur Emily saat ini. Dalam kepolosannya, Emily yakin semua itu tak akan pernah menarik lagi.