Empat Cangkir

Ati Raah
Chapter #1

Prolog

Seseorang yang berteduh di bawah halte bus mulai membuka sebuah buku usang berwarna hitam. Lembar demi lembar buku itu ia buka dengan hati-hati. Wajah dan tubuhnya setengah basah karena air hujan. Begitu juga dengan rambutnya. Air mulai menetes membasahi lembaran usang itu. Karena panik, dengan cepat ia melepas jaketnya. Meski hanya memakai kaus abu-abu pendek, ia tidak terlihat kedinginan. Ia membalik jaket itu hingga memperlihatkan bagian yang kering, lalu menggosokkannya pada rambut. Berharap rambutnya sedikit kering. Buku itu tidak boleh basah.

Sejenak, orang itu berpikir. Apa yang penting dari buku itu hingga banyak orang mencari? Apa yang membuat banyak orang tertarik untuk memilikinya? Dan, apa yang membuat seorang laki-laki mempertahankan buku itu bawah teduhan halte bus? Di dalamnya tak lain hanya tulisan acak seorang yang belum genap dua puluh tahun saat itu. Tidak ada yang istimewa.

Memang tidak istimewa bagi orang lain, namun tidak baginya. Hingga tibalah ia di halaman terakhir, sebuah kalimat tertulis di tengah halaman. Hanya satu kalimat bercetak miring. Juga, sebuah bunga daisy kering tanpa tangkai terselip di halaman itu. Laki-laki itu tersenyum tipis, hanya beberapa saat sampai bukunya jatuh dalam genangan air. Begitu pula dengan pemiliknya yang ikut tersungkur.

Buku usang yang laki-laki itu jaga agar tidak basah, kini setengah mengambang di dalam genangan air. Sementara, bunga daisy kering yang ia simpan jauh hari masih mengambang sebelum hancur karena terlindas roda kendaraan.

Seorang laki-laki lain berdiri di hadapannya, berkemeja cokelat yang digulung sesiku. Tatapannya tajam, matanya memerah, rahangnya mengeras. Kentara akan amarah yang menguasai dirinya. Laki-laki bermulut tajam itu berbeda dari biasanya. Matanya menyiratkan banyak kekecewaan. Sementara, pemilik buku usang bangkit dari posisinya. Tangannya dengan cepat memungut buku yang terlanjur basah meski pun ia harus kembali terguyur hujan. Matanya sendu menatap bunga daisy kering yang telah hancur. Lantas, ia berbalik. Menatap tajam seseorang yang telah berani memukulnya. Tangannya mulai terkepal, sampai sebuah suara nyaring membuat keduanya menoleh.

"GAHARU!"

Lihat selengkapnya