Empat Cangkir

Ati Raah
Chapter #2

Hujan dan Perdebatan

Kalau saja Oza tidak ke Semarang, Aurum sudah pasti meminta jemput ibunya itu. Kakinya melangkah cepat di bawah guyuran hujan. Tidak adanya transportasi lain setelah turun dari bus membuatnya harus berjalan kaki. Tubuhnya dibalut jas hujan, jas hujan berbentuk kelelawar hadiah give away yang didapatnya minggu lalu. Aurum sempat memakainya di halte setelah turun dari bus. Mulutnya menggerutu kesal karena payung lipatnya tidak terbawa. Karena itu, ia terpaksa memakai jas hujan yang diselipkan ibunya pagi tadi. Tentu saja, Aurum harus tetap memakai ranselnya dalam jas hujan agar tidak kebasahan dan itu membuatnya terlihat konyol. Ia jadi teringat alien dalam film India kesukaan ibunya dulu.

Aurum menghela napas pelan. Meski sudah memakai jas hujan, wajahnya tetap kebasahan. Juga, sepatunya.

"Akh!" pekik Aurum ketika roda kendaraan melindas genangan air yang menyebabkan wajahnya kebasahan. Sementara, Si Pengendara sudah melaju jauh tanpa tahu jika ada pejalan kaki yang kesal karenanya.

Aurum benar-benar ingin menangis sore itu, wajahnya ternoda oleh cipratan genangan air yang sedikit berlumpur.

Aurum melanjutkan langkahnya dengan gontai, sampai sebuah guntur terdengar membuatnya mematung dan mencengkeram tali ranselnya dengan erat. Sebuah pantulan kilatan cahaya muncul setelahnya membuatnya u. Mata Aurum membulat, bergerak ke kanan dan ke kiri. Badannya mulai menggigil karena dingin dan rasa takut. Ia pun menoleh ke belakang, berharap ada orang yang ia kenal untuk memberinya tumpangan. Namun, tidak ada satu pun kendaraan yang lewat.

Langit mulai menggelap sore itu, padahal masih pukul lima. Sampai sebuah gemuruh terdengar lagi dari kejauhan, Aurum kembali memekik.

"Mamaaa!" pekiknya sambil berlari kencang.

Napas Aurum terengah ketika ia berhenti berlari. Ia memutuskan untuk berjalan pelan hingga tibalah ia di depan halaman rumahnya. Dahinya berkerut dalam ketika melihat kafe milik ibunya terbuka lebar. Ada sekitar empat sampai lima orang pengunjung. Setahunya, kafe ibunya seharusnya tutup. Pegawai pun diliburkan. Sejenak, Aurum terdiam sampai matanya bertemu dengan seorang perempuan yang sedang berkacak pinggang di depan pengunjung lain. Tak ingin berlama-lama hanyut dalam penasaran, ia pun bergegas mendekat. Lebih dulu, Aurum melepas jas hujannya.

Perempuan tinggi dan sedikit berisi itu berkacak pinggang di depan dua orang pengunjung. Satu orang laki-laki berkacamata beberapa kali bersin dan mengomel. Sementara, seorang lagi berkemeja biru asyik menggunakan komputer jinjingnya tanpa peduli apa yang dikatakan perempuan itu. Mereka membicarakan tentang berteduh, debu, dan uang.

Ketika Aurum memperhatikan perempuan itu, matanya membulat.

"Kak Nes?" sapanya yang seperti sebuah pertanyaan karena heran. Padahal, ibunya memberitahu kalau Nesia akan datang pukul tujuh. Tahi lalat kecil di bawah dagu menjadi ciri khas Nesia Kamara sehingga Aurum akan lebih cepat mengenalinya.

Nesia menoleh, mendapati Aurum yang sedikit terkejut.

"A-aurum," ia menyapa balik dengan sedikit tergagap. "Rum, itu.. " ucap Nesia yang dibiarkan menggantung.

"Mama udah bilang, kok, kalau Kak Nes yang jagain Aurum tiga minggu ke depan. Tapi, harusnya Kak Nes nggak perlu repot-repot buka kafe karena semua karyawan memang diliburkan. Disuruh Mama, ya?" tebak Aurum sedikit merasa bersalah.

"Anu.. Rum, gini..." lagi-lagi Nesia menggantungkan ucapannya yang membuat Aurum semakin penasaran. Setahunya, saat kumpul bersama keluarga besar beberapa waktu lalu, Nesia itu tipe orang yang banyak bicara, bahkan Aurum pun masih merasa canggung. Namun, entah kenapa sekarang situasinya berbalik.

"Itu.. "

"Gue balik. Nggak ada Latte juga," potong seorang laki-laki berkacamata. Ia bangkit dari duduknya, hendak melenggang pergi. Namun, sebelum itu terjadi, Nesia menarik hoodie-nya ke belakang, membuatnya duduk kembali sambil memelototinya dengan tajam. Laki-laki itu bahkan tak berkutik karena terintimidasi Nesia. Sejujurnya, tingkah Nesia sedikit menakutkan, meski Aurum tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa dua pengunjung yang sedang diomeli Nesia seperti sengaja dibuat duduk berdampingan?

Lihat selengkapnya